Rumah Sakit Panti Rini

Teman Saat Sehat dan Sakit

Rumah Sakit Panti Rini identik dengan pasien menengah bawah. Ketika ada rumah sakit baru, pasien sempat menurun, tapi kemudian kembali lagi.

Luka karena jatuh dari pohon atau tebing. Lainnya, disepak kuda atau terinjak sapi. Itu antara lain pasien yang datang ke Rumah Sakit Panti Rini di Jalan Solo Km 13,2, Kalasan, Jogjakarta. Pasien terbanyak adalah korban kecelakaan lalu lintas seperti tabrakan sepeda motor, mobil atau tertabrak kendaraan saat menyeberang jalan.

“Hampir setiap hari,” ujar Direktur RS Panti Rini dr. Y. Wibowo Soerahjo, MMR (65 tahun), tentang banyaknya korban kecelakaan lalu lintas. Rumah sakit yang bernaung di bawah Yayasan Panti Rapih ini terletak di jalan raya Jogjakarta – Surakarta, yang ramai  siang malam. Kecelakaan lalu lintas seperti sudah menjadi hal “biasa”. Dan, bukan hal aneh bila ada penduduk yang cedera oleh ulah binatang peliharaan  (sapi, kuda) atau jatuh dari pohon atau tebing, saat melakukan kegiatan sehari-hari.

RS Panti Rini identik dengan pasien kelas menengah bawah, sejak didirikan oleh Dewan Paroki Kalasan dan masih berupa Klinik Bersalin dan Poliklinik tahun 1967-an. Seiring waktu,  setelah melalui perjalanan panjang beserta pasang surutnya, klinik ini bertambah luas dan besar dan kemudian menjadi RS Panti Rini (diresmikan 11 Juni 1993).

RS Panti Rini bernaung di bawah Yayasan Panti Rapih, Jogjakarta. Selain RS Panti Rini, yayasan ini membawahi 5 unit karya lain, yaitu RS Panti Rapih (yang pertama dan terbesar), RS Panti Nugroho di Pakem, RS Elisabeth Bantul, RS Panti Rahayu dan Akademi Perawat Panti Rapih.

Klinik awalnya untuk melayani umat gereja di sekitar Kalasan, Jogja timur. “Konsepnya adalah mendekat ke masyarakat yang kurang mampu. Sasaran kami yang pertama adalah menjangkau kalangan menegah bawah. Pasien kalangan menegah atas umumnya berobat ke RS Panti Rapih,” ujar dr. Wibowo. Jika RS Panti Rini tidak sanggup menangani pasien tertentu, juga dirujuk ke RS Panti Rapih. Misalnya, kasus-kasus yang membutuhkan fasilitas ICU.

Untuk penanganan pasien, ada dua hal yang selalu ditekankan kepada petugas yaitu: kecepatan dan  ketepatan. Kecepatan misalnya dalam penanganan pasien stroke atau serangan jantung, agar pasien dapat terhindar dari komplikasi yang lebih serius bahkan kematian. Ketepatan merupakan hal yang penting, menurut dr. Wibowo, “Karena manusia bukan mesin atau kendaraan bermotor.” Untuk itu, pemeriksaan harus sangat teliti, dibantu alat penunjang seperti laboratorium, rontgen, USG dan sebagainya, sehingga diagnosis dapat ditegakkan.

RS Panti Rini berkapasitas 50 tempat tidur dengan BOR 70-80%.  Length of stay rata-rata pasien sekitar 5 hari dan sedang diupayakan untuk  lebih pendek menjadi 3 hari, supaya efisien. Jumlah tempat tidur akan dikembangkan menjadi 100. Akan dilakukan perombakan peruntukan lahan dan bangunan, yang kini sudah terasa berdesak-desakan. Tempat parkir, misalnya, terasa  sempit dan sudah tidak memadai lagi.

“Di seberang sungai akan dibangun fasilitas penunjang seperti pengolahan limbah, teknik dan dapur. Bangunan lama akan dipakai untuk meningkatkan pelayanan rawat inap dan rawat jalan. Untuk tempat parkir yang lebih luas, kami bekerja sama dengan pihak gereja dan sekolah yang bersebelahan dan masih dalam lingkup yang sama,” ujar dr. Wibowo.

Trauma Center akan diperluas dan peralatan serta SDM-nya dilengkapi. Akan ada ruang ICU dan pelayanan untuk hemodialisa (HD), karena permintaan cukup banyak. “Selama ini, kalau ada pasien cuci darah, kami rujuk ke Panti Rapih atau RS lain yang sudah memiliki fasilitas HD,” kata dr. Wibowo. Ke depan, rencana pembangun tidak akan membuat RS ini menjadi bangunan bertingkat. Bangunan akan tetap satu lantai, di atas tanah, karena biayanya mahal. Belum untuk biaya listrik, perawatan, dan lain-lain. Sedangkan, RS ini kebanyakan melayani kalangan menengah bawah yang datang dari Jogja timur, Piyungan, Bantul, bahkan Gunung Kidul dan Klaten.

1000 Pasien

Lokasi yang strategis, cukup “menguntungkan”. Banyak yang ingin kerja sama, di antaranya tempat wisata Prambanan, pihak Bandara Adi Sucipto & maskapai penerbangan serta sejumlah perusahaan. Untuk mengetahui apakah pasien tertentu (jantung, asma, hamil) layak naik pesawat atau tidak, mereka dirujuk ke RS Panti Rini.

“Kadang dari pihak bandara yang meminta, atau mereka yang mengatar pasien ke sini,” ujar dr. Wibowo. “Beberapa waktu lalu, ketika ada pesawat Garuda terbakar, sekitar 27 pasien  dibawa ke sini.”

Dan ketika terjadi gempa Jogja beberapa tahun lalu, RS Panti Rini memperoleh pengalaman luar biasa. Pasien dari Piyungan dan Prambanan berdatangan, juumlahnya sampai  1.000 orang. Semua tempat tidur sampai lorong rumah sakit dipenuhi pasien. Halaman parkir juga dimanfaatkan.

“Kami menggunakan tenda-tenda penampungan sementara, sampai ke pendopo gereja dan halaman sekolah,” ujar dr. Wibowo. Suasana makin kacau dan masyarakat berdatangan ketika muncul issue bahwa akan ada tsunami, seperti terjadi di Aceh.

“Kalasan sebenarnya jauh dari pantai. Tapi, ketika gempa, air sumur di rumah kami muncrat tinggi sekali. Jadi, orang percaya tsunami bisa terjadi,” ujar seorang warga yang rumahnya tak jauh dari Candi Prambanan.

Semua tenaga kesehatan dimobilisasi. Karyawan yang sedang cuti atau libur, perawat mau pun dokter, dipanggil untuk bertugas. Bantuan tenaga kesehatan kemudian berdatangan dari luar daerah, sehingga petugas dapat bergantian melayani pasien yang umumnya mengalami luka, memar atau patah tulang. Keadaan darurat itu berlangsung selama sekitar 1 bulan. Setelah gempa, Jogjakarta dan sekitarnya kembali dilanda musibah yaitu meletusnya Gunung Merapi. Ketika itu, RS Panti Rini mencatat setidaknya ada 19 pasien dengan luka bakar di kaki karena menginjak lahar panas.

Menyatu dengan Masyarakat

Sejak berdirinya, RS Panti Rini dapat dikatakan dapat menyatu dengan masyarakat sekitar. Di sisi lain, masyarakat suka mencoba hal baru. Ketika ada rumah sakit baru, mereka tergoda untuk mencoba sehingga jumlah pasien sempat mengalami penurunan. Namun, kondisi itu tidak berlangsung lama. Pasien kemudian kembali lagi ke RS Panti Rini.

“Kami berusaha untuk memberi pelayanan yang lebih baik,” ujar dr. Wibowo. Di RS Panti Rini, dokter penyakit dalam ada yang bertugas pagi, siang dan sore. Dan dokter siaga 24 jam/hari. Sementara rumah sakit lain, hanya ada dokter on call. Karena tak mau menanti lama, mereka akhirnya ke RS Panti Rini, yang memiliki motto: Pendamping Setia Anda di kala Sehat dan Sakit.

Tentang “setia”, kadang ada pasien yang coba menguji; khususnya pasien korban kecelakaan lalu lintas. Setelah ditolong dan diobati, mereka pergi begitu saja. Dicari pun percuma, karena alamatnya entah di mana. Bagi RS Panti Rini, hal itu tidak masalah. “Tugas kami menolong dan mereka sudah ditolong,” ujar dr. Wibowo.

Tapi, pasien umumnya memahami hak dan kewajibannya. Apalagi kini ada Jamkesmas dan Jamkesda, yang disediakan oleh pemerintah. Perlu kelengkapan administrasi untuk memperolehnya. Seperti, kelengkapan tentang biaya yang dikeluarkan, status pasien dan lain-lain. Pengalaman RS Panti Rini, jika semuanya lengkap  klaim bisa cair. Klaim saat gempa Jogja dan Gunung Merapi meletus, juga sudah dibayar semua. Sepengetahuan dr. Wibowo, “Untuk wilayah Jogjakarta dan sekitarnya, pemerintah sudah menyediakan dana talangan Rp. 350 juta di BRI.”

Memang, ada pasien yang tidak ter-cover Jamkesmas mau pun Jamkesda. Mau tak mau, mereka harus mengeluarkan biaya sendiri. Untuk masalah ini, RS Panti Rini mengambil kebijakan: pasien membayar semampunya dengan cara dicicil, “Untuk pembelajaran.”  

Berkah Orangtua     

“Sejak SD, SMP, SMA saya sekolahnya di luar negeri. Baru masuk negeri di FK UGM,” ujar  Direktur RS Panti Rini dr. Y. Wibowo Soerahjo, MMR. Luar negeri maksudnya adalah sekolah swasta. Di UGM, ia satu angkatan antara lain dengan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), mantan Menteri Kesehatan.

Ia menjadi dokter karena keinginan orangtua. Ayahnya berijasah guru dan perawat, tapi bekerja di bagian keuangan UGM. Sebenarnya, ia ingin jadi dokter namun tak ada biaya. Wibowo yang lahir di Kotabaru, Jogjakarta, awalnya ingin menjadi penerbang  TNI AU. Kata sang ayah, sebaiknya ia menjadi dokter.

“Waktu itu, baru kamu yang lulus SMA,” ujar ayahnya, ketika Wibowo bertanya mengapa dia harus menjadi dokter, sementara adik-adiknya bebas mau kuliah di mana. Ketiga anaknya pun memilih masuk fakultas ekonomi, ketimbang menjadi  dokter.

“Anak saya mungkin berpikir, jadi dokter itu tidak enak. Waktu saya tugas di RSUD Wonosari, acara bareng keluarga sering batal, karena tiba-tiba ada pasien,”  kakek 2 cucu ini  tertawa. 

Menuruti keinginan orangtua untuk menjadi dokter, dirasakan membuat hidupnya bahagia dan penuh keberkatan. Ia ingat, sewaktu dia dan adik-adiknya sudah tinggal di tempat lain, setiap mudik mereka rame-rame tidur di sebuah ruangan. Ibu memperhatikan dengan rasa bahagia terpancar di wajahnya. Namun, ibu enggan memakan oleh-oleh yang dibawa anaknya.

“Saya ingin bisa berlama-lama melihat kalian,” kata ibu yang mengidap diabetes sejak usia 39 tahun. Dan benar, ibunda dr. Wibowo meninggal diusia 80 tahun. Ayahnya bahkan meninggal di usia 96 tahun.

Untuk menjaga kebugaran, dr. Wibowo main tenis seminggu 2 kali, bersama teman-teman dokter tua muda. Katanya, “Biaya main tenis relative murah. Raket harganya tidak mahal, dan sepatu tahan dipakai dalam jangka waktu lama. Kalau main golf, tidak mampu.”

Tidak ada komentar