Diagnosis Rhinitis Alergika


Diagnosis Rhinitis Alergika
Sulit mendiagnosa RA, karena tumpang tindih dengan penyakit non alergi. Ada beberapa tes untuk menegakkan diagnosis

Rinitis alergika (RA) secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung. Terjadi setelah paparan alergen melalui peradangan mukosa hidung, yang diperantarai IgE. RA merupakan penyakit alergi kroni,s yang paling umum dijumpai. Diperkirakan, sebanyak 10% orang dewasa dan 40% anak-anak di Amerika Serikat (AS) terserang penyakit ini. Dengan demikian, RA merupakan satu dari sekian banyak penyakit yang ditangani para praktrisi sebagai perawatan primer.
Beban ekonomi terkait AR bersifat substansial. Pada tahun 1996, diperkirakan biaya untuk penanganan RA di AS mencapai total USD 6 miliar. Walau gejala yang disebabkan RA tidak mengancam jiwa, secara signifikan dapat berdampak pada kualitas hidup pasien, mengurangi produktifitas kerja, menggangu konsentrasi dan menggurangi kemampuan belajar pada anak. RA sering dikaitkan dengan sejumlah komorbiditas, termasuk sinusitis, asma dan otitis media. Kontrol yang buruk dapat memperburuk kondisi pasien, sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya komorbiditas lain dan beban ekonomi yang semakin tinggi bagi penderita.
Di Indonesia menurut International Study of Asthma and Allergies in Children, insiden PAR kurang dari 5% dan insiden RA mencapai 20%. Insiden rinitis alergi paling tinggi ditemukan di Jakarta (10-20%). Manajemen yang efektif dapat mencegah terjadinya peburukan pada Perennial Alergi Rhinitis (PAR). Dengan memperbaiki kualitas hidup pasien, menghindari eksaserbasi komorbiditas patologi akan mampu mengurangi beban ekonomi penderita.

Klasifikasi dan Diagnosis Rhinitis Alergika Parennial
Rhinitis Alergika Parennial (RAP) dapat memberikan dampak yang signifikan bagi kualitas hidup pasien. Menghindari penyebab alergi, merupakan lini pertama managemen RAP, walau sangat sulit dilakukan.
Rhinitis alergika secara tradisional dibagi 2 kelompok. Perttama, RA yang terjadi secara musiman, disebabkan alergen dari luar, seperti serbuk sari. Kedua, RA yang terjadi secara terus menerus, yang disebabkan alergen dari dalam ruangan seperti debu dan ketombe binatang peliharaan.
Namun, definisi ini kurang sesuai bila diterapkan dalam kehidupan nyata. Karena, serbuk sari banyak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan gejala alergi tidak secara terus menerus terjadi. Karena itu the Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) mengklasifikasi kembali pedoman RA, berdasar waktu dan frekwensi gejala yang ada. Intermittent dan Persistent RA, keduanya dapat dibagi berdasar tingkat keparahan pasien mulai dari ringan, sedang hingga berat.
Menurut Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI dari Divisi Alergi Imunologi Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, RA secara klinis akan muncul dengan beberapa gejala sebagai berikut: rhinorrhea, bersin, hidung tersumbat, gatal pada bagian hidung dan langit-langit, serta timbul gejala pada permukaan okular (mata berair dan terasa gatal).
RA musiman (yang biasa terjadi di negara dengan 4 musim) dapat dengan mudah didiagnosa, dengan gejala awal yang cepat ketika pasien terkena serbuk sari. Sebagai contoh, musim serbuk sari ragweed yang terjadi selama musim gugur di garis lintang utara AS. Saat itu, terjadi RA yang disebabkan serbuk sari ragweed. Sebaliknya, untuk mendiagnosa PAR (terjadi sepanjang tahun seperti di Indonesia) sangat sulit. Di sini, kriteria diagnosa dapat terjadi tumpang tindih dengan penyakit non RA, seperti sinusitis dan rhinitis vasomotor.
Lebih jauh lagi, rhinitis okupasional dapat terjadi pada kasus alergi dan non alergi. Contohnya ketombe pada binatang yang ditemukan di lingkungan laboratorium. Sedangkan debu, detergen, pewarna dan bahan kimia industri, dapat menyebabkan non-AR. Saat ini, diagnosa harus fokus pada gejala, pemicu, alergi, riwayat kesehatan dan pengobatan. Sebuah diagnosa yang akurat, sangat penting sebagai terapi efektif pada RA, walau mungkin tidak begitu efektif untuk mengobati rhinitis non alergik. Banyaknya pemicu alergen akan menimbulkan gejala pada pasien. Mengindetifikasi pemicu alergi, merupakan aspek penting dalam pengelolaan PAR.

Gejala RA
Riwayat klinis sangat penting untuk menentukan diagnosa RA secara tepat, menilai berat penyakit dan menduga hasil pengobatan. Pada pasien RA intermiten ringan, pemeriksaan nasal merupakan suatu keharusan. Semua penderita dengan RA persisten memerlukan pemerikasaan nasal. Rinoskopi anterior menggunakan spekulum dan kaca, memberikan informasi terbatas. Endoskopi nasal juga merupakan langkah yang tepat, yang dapat dilakukan seorang spesialis dan akan lebih memberikan banyak manfaat.

KO-morbiditas
Inflamasi alergi tidak terbatas hanya pada rongga hidung. Berbagai ko-morbiditas telah diketahui berhubungan dengan rinitis, antara lain adalah asma. Studi epidemologi secara konsisten menunjukan, asma dan rinitis alergi sering ditemukan bersamaan pada penderita yang sama. Hampir semua penderita asma alergi dan asma non-alergi juga menderita rinitis alergi, juga sebaliknya. RA berhubungan dan juga sebagai faktor resiko asma. Banyak penderita RA mengalami peningkatan hiper aktivitas bronkus yang non-spesifik.
Studi patofisiologi menyokong suatu hubungan erat antara rinitis dan asma. Meski perbedaan saluran nafas atas dan bawah diduga dipengaruhi oleh suatu proses inflamasi serupa, yang mungkin dapat menetap dan diperberat oleh mekanisme yang saling berhubungan.
Penyakit alergi dapat bersifat sistemik. Adanya provokasi bronkial, akan menyabbkan inflamasi nasal dan provokasi nasal akan mengakibatkan inflamasi bronkial. Bagi dokter, saat menentukan diagnosa rinitis atau asma, kedua saluran nafas bawah mau pun atas harus dievaluasi.

Diagnosa RA
Untuk mendiagnosa rinitis alergi pada seorang pasien, dokter harus berdasarkan pada aspek berikut :
 Tes kulit
Sebelum dilakukan tes kulit, lebih dulu dokter harus melakukan anamnesis adanya riwayat alergi pada pasien. Tes kulit dilakukan pada penderita alergi, menggunakan alergen. Antigen yang diujikan akan menimbulkan reaksi kulit berupa (wheal) indurasi dan eritema, dalam waktu 10-20 menit setelah alergen diujikan. Akan terjadi reaksi. Selama ini, terdapat 3 macam tes kulit yaitu tes kulit epidermal, tes kulit tusuk (prick) dan tes kulit intra dermal.
 Tes kulit tusuk (prick test)
Prick test memiliki beberapa keungulan, di antaranya: simpel, cepat, tidak menyakitkan, relatif aman dan jarang menimbulkan reaksi anafilaktik dan tanda-tanda reaksi sistemik. Karrna itu, sangat populer di kalangan dokter. Meski banyak sekali tes in-vivo dan in-vitro untuk mendeteksi adanya IgE, tes kulit harus tetap dilakukan. Tak lain karena sederhana, relatif murah, aman, mudah diterima oleh penderita dan hasilnya dapat langsung terlihat.
Hampir semua pakar berpendapat, pemeriksaan IgE penting untuk pemeriksaan alergen inhalan atau makanan. Pada suatu reaksi hipersitivitas tipe I, tes kulit merupakan prosedur standar, untuk mengidentifikasi alergen dan IgE spesifik pada penderita alergi, yang dihubungkan dengan riwayat alergi dari anamnesis. Hasil tes kulit relatif spesifik dan sensitif, walau dipengaruhi oleh kualitas dari ekstrak dan metode yang digunakan. Adanya konsensus yang menyatakan, ekstrak alergen yang sudah distandarisasi sangat penting untuk diagnosis. Tujuannya untuk mendapatkan hasil yang akurat dan oasauen memperoleh pengobatan yang adekuat.
Dari hasil tes kulit, akan didapatkan alergen penyebab. Sehingga penderita bisa kita berikan edukasi, baik menggunakan terapi medikamentosa mau pun imunoterapi.
Tes kulit dapat dilakukan secara prekutaneus, yang disebut tes tusuk (skin prick test) atau intrakutaneus yang disebut intradermal testing. Tes prick hanya dilakukan untuk skrining karena mudah, murah dan aman. Ekstrak alergen pada tes ini, dapat dilarutkan dalam gliserin sehingga hasilnya akan lebih stabil.
Saat ini terdapat bermacam-macam alat untuk tes epikutan. Masing-masing dinyatakan sebagai disposibel, mudah diterima dan hasilnya akurat. Para ahli melakukan evaluasi terhadap peralatan tersebut. Pada multi-tes, ternyata cara ini dapat menguji 8 alergen sekaligus, sehinggga penetrasi tekanan ke dalam kulit sama. Ini dapat memberikan kenyamanan pada pasien. Hasilnya baik, dengan variabel pembuat bias rendah, sebesar 14%.
 Tes provokasi hidung
Tes ini dilakukan dengan memberikan alergen langsung ke mukosa hidung. Dari target organ tersebut, dilakukan observasi. Okuda melakukan tes provokasi menggunakan disc berdiameter 3mm dan berisi ekstrak alergen/250 Ug. Disc kemudian ditempatkan pada konkha inferior pada hidung, hasilnya ditunggu selama 5 menit. Respon positif yang terjadi yaitu bersin, sekret hidung, serta pembengkakan mukosa hidung.
Tes provokasi memiliki korelasi yang baik dengan riwayat alergi, IgE spesifik dan efek imunoterapi. Tes provokasi hanya dapat dilakukan oleh spesialis THT, sedangkan rhinomanometri dapat dilakukan tenaga paramedis atau dokter. Akan tetapi perlu alat dengan harga yang cukup mahal, dan penderita harus bekerja sama secara kooperatif. Di samping itu, perlu waktu lama untuk pemeriksaan dan hanya digunakan sebagai evaluasi obstruksi pada hidung.
 Diagnosa in-vitro
Dewasa ini banyak dikembangkan teknik untuk melakukan pemeriksaan sel-sel inflamasi, dan mediator yang dilepaskan baik secara in-vivo mau pun in-vitro. Bahkan pada pemeriksaan sitologi, sampel dapat berasal dari sekresi sisih hidung (nasal blowing) apus mukosa (nasal smear) sikatan mukosa (brush methold) kerokan mukosa hidung (nasal scraping) biopsi, lavase hidung dan teknik canggih isap mikro. Pemeriksaan sel-sel inflamasi dan mediator atau sitokin, dapat dilihat dan dihitung menggunakan mikroskop biasa, mikroskop elektron, radio immunoessay dan high performance chromatography.
Pemeriksaan IgE berguna untuk prediksi kemungkinan adanya alergi. Peningkatan IgE total diperiksa dalam darah, untuk menegakkan diagnosis penyakit alergi. Seseorang dengan IgE normal, tidak berarti dia tidak menderita alergi. Pemeriksaan IgE RAST (Radio Allergergosorbent Test) digunakan untuk mengukur IgE spesifik dalam serum. Test ini sering digunakan untuk menunjang diagnosis rinitis alergi.
MRT (Modified RAST Test) digunakan untunk mengukur sensititas setiap individu secara akurat, sejak tahun 1977. Sistem modifikasi RAST (MRT) saat ini sudah dikembangkan. Dengan sistem ini dapat ditentukan dosis awal immunoterapi. Sekarang sistem ini sangat populer terutama bagi dokter spesialis THT.

Tidak ada komentar