Inflamasi dan Kualitas Hidup Pasien Rinitis Alergi
Inflamasi dan Kualitas Hidup Pasien Rinitis Alergi
Penyelidikan tentang mekanisme rhinitis alergika berkembang cepat. Pengobaran yang tepat, dapat menurunkan gejala dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Penelitian mekanisme patofisiologi rinitis alergi berkembang cepat. Sudah dapat menjelaskan gejala bersin, hidung beringus dan tersumbat berkepanjangan, yang antara lain disebabkan akumulasi sel inflamasi, terutama eosinofil di jaringan mukosa hidung. Gejala tersebut dapat mengakibatkan penurunan konsentrasi, produktivitas kerja dan kelelahan. Hal itu dirasakan penderita sebagai gangguan, yang menurunkan kualitas hidup.
Rinitis alergi didahului pembentukan IgE spesifik dalam tubuh, yang dipengaruhi beberapa faktor internal (seperti genetik dan sistem imun tubuh) dan faktor eksternal (seperti alergen dan iritan). Akibat faktor internal, misalnya adanya paparan alergen tertentu, akan terjadi sensitifitas pada seseorang. Di samping paparan alergen, berat-ringanya gejala rhinitis alergi juga dipengaruhi juga beberapa faktor lain seperti geografi, polusi, usia, jenis kelamin, gaya hidup dan adanya infeksi.
Rinitis alergi merupakan hipersensitifitas tipe I, yang diawali fase sensitisasi. Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) kemudian berlanjut menjadi Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL), yang dapat berakhir hingga 24 jam. Selama fase ini, dilepaskan histamin dan berbagai faktor kemotaktik yang akan menyebabkan akumulasi berbagai sel inflamasi ke dalam mukosa hidung, terutama pada RAFL.
Ditinjau dari jumlah sel, adalah esionofi yang konsisten menunjukan korelasi dengan tingkatan beratnya gejala, baik pra mau pun pascaprovokasi. Pertambahan jumlah akumulasi sel-sel inflamasi lainnya (mastosit, basofil dan neutrofil) tidak selalu konsisten. Penderita rhinitis alergika yang bergejala, tanpa diberi pengobatan adekuat akan mengalami gangguan kualitas hidup. Seperti, gangguan proses belajar, produktifitas kerja dan stabilitas emosi.
Pengobatan meliputi menghindari alergen, terapi medikamentosa (antimediator egektor) anti inflamasi dan immunoterapi alergen. Dari ketiga pengobatan tersebut, hingga kini tidak satu pun yang dapat menyembuhkan dengan sempurna penyakit rinitis alergi, seperti pada penyakit infeksi.
Reaksi alergi dimulai dari fase sensititasi. Pada fase ini sensitisasi alergen debu rumah, serpihan kulit dan tinja tungau debu rumah, kecoa, hewan peliharaan dan tepung sari bunga menempel pada mukosa hidung. Alergen tersebut ditangkap, lalu diproses oleh antigen presenting cells (APC), seperti sel Langerhans, makrofag dan sel dendritik sehingga menjadi pecahan-pecahan peptida imunogenik yang pendek. Peptida imunogenik pendek ini dipresentasikan oleh APC, melalui molekul kompleks histokompatabilitas major (major histocompatability complex) (MHC) kelas II di permukaan sel APC. Bridging antara APC dan sel Th0 (limfosit Th-istirahat) melalui MHC kelas II dan reseptornya, diperkuat oleh molekul CD4 dan molekul assesori lain. Dalam peristiwa tersebut, terjadi pelepasan IL-1 yang akan mengaktifasi sel Th0, sehingga sel Th2 melepas sitokin-sitokin pro inflamatori IL-3, IL-4, IL-13, granulocytemacrophage colony-stimulating factor (GM-CSF) dan sitokin yang lain.
Reseptor sitokin IL-4 dan IL-13 yang berbeda pada permukaan limfosit B-istirahat (resting B-cells) akan ditangkap, sehingga terjadi aktifasi limfosit B. Dalam limfosit B yang menjadi aktif ini, diproduksi imunoglobulin E (IgE) yang kemudian terlepas ke sirkulasi darah dan jaringan sekitarnya. Molekul IgE akan menempel pada reseptor IgE di permukaan mastosit, sehingga terbentuk komplek IgE mastosit. Individu yang telah mengandung kompleks IgE mastosit, disebut individu yang tersensititasi, yang setiap saat akan mudah masuk dalam fase reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan Coomb (alergi).
Dalam proses reaksi hipersensitivitas tipe I berikutnya setelah tarjadi pacuan ulang dari antigen spesifik, dimulailah aktivitas biologik IgE. Antigen ditangkap oleh kedua molekul IgE yang menempel di permukaan kompleks Ig-mastosit (bridging), sehingga terjadi aktivitas membran sel mastosit. Pada saat tertentu, akan terjadi aktifasi tirosin-kinase, fosfolipase C, fosfolipase A2 dan influks ion kalsium, yang menimbulkan pelepasan mediator yang sudah tersedia (preformed mediator). Reaksi alargi ini disebut reaksi alergi fase cepat (RAFC), yang berlangsung sampai 1 jam pertama dengan puncak antara 15-20 menit pertama. Terjadi pelepasan mediator histamin, triptase leukotrein C4, prostagladin D2 (PGD2), bradikinin, faktor pengaktifan trombosit (platelet activating factor) faktor kemotaktik neutrofit anapilaktik (neutrophyl chemotactic factors for anaphylactic) (NCFa) dan factor nekrosis tumor (tumor necrosis factor) (TNFα).
Pada reaksi alergi fase cepat (RAFC), terjadi pelepasan TNFα oleh mastosit. Sitokin IL-1, TNFα dan PGD2, memiliki efek somnogenik. PGD2 juga mengakibatkan sefalgia. RAFC mastosit melepas ECFa, yang berakibat eosinofil perifer bermigrasi ke mukosa hidung. Reaksi alergi pada fase berikutnya menyebabkan terjadinya akumulasi berbagai sel inflamasi ke dalam mukosa hidung. Fase ini dikenal dengan reaksi alergi fase lambat (RAFL), yang dapat berlangsung sampai 24 jam berikutnya. Selama RAFL, akan terjadi interaksi antar sel inflamasi melalui mediator-mediator yang lepas.
Sel inflamasi yang berinteraksi pada RAFL antara lain makrofag, limfosit, eosinofil, mastosit dan basofil. Mediator histamin yang lepas pada RAFC berasal dari matosit, sedangkan pada RAFL terutama sekali berasal dari basofil. Selain itu selama RAFL terjadi pelepasan berbagai sitokin pro-inflamatori (pro-inflamatory) seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF oleh sel Th2. Disamping itu sitokin-sitokin yang memiliki efek anti inflamasi akan dilepas oleh sel Th1. Kemudian pada kelompok mediator kimiawi lain yang juga memiliki efek pro-inflamatori, seperti IL-6, IL-8, GM-CSF, regulated upon activation, normal T exspressed and presumally secreted (RANTES) akan dilepas oleh epitel mukosa hidung.
Kelompok zat kimiawi pro-inflammatori lainnya, adalah molekul adhesi (adhesion molecules) yang terdiri 3 kelompok. Yaitu selektin, superfamili imunoglobulin, dan integrin. Selektin berpengaruh terhadap menempelnya eosinofil ke endotel, molekul adhesi superfamili imunoglobulin (ICAM-1, ICAM-2 dan VCAM-1) berpengaruh terhadap gepengnya sel dan diapedesis. Sedangkan, intergin (VLA-1 sampai VLA-6) berpengaruh terhadap masuknya sel melalui matriks ekstraseluler. Molekul adhesi ini pengaruhnya terhadap influks kumulsi sel inflamsi, terutama eosinofil ke dalam jaringan. Selama RAFL, eosinofil melepas kemoatrakan yaitu eotaksin, IL-5 dan RANTES terhadap sel inflamasi terutama eosinofil. Eosinofil ini akan melepaskan IL-3, IL-5 GMCSF yang meningkatkan kesintasan (survival) eosinofil.
Karena terpengaruh IL-1-2-3-4, TNFα, GM-CSF sel endotel akan meningkatkan ekspresi ICAM-1, VICAM-1 dan E-selektin, yang kemudian akan menambah migrasi eosinofil. Eosinofil diikat oleh molekul adhesi pada permukaan endotel, sehingga eosinofil bergerak sepanjang dinding endotel. Akibat eosinofil yang diikat lebih kuat oleh molekul adhesi lain, terjadilah dipedesis. Dengan demikian influks eosinofil didahului peningkatan molekul adhesi. Produksi faktor kemotaktik, faktor aktifasi sel dan faktor yang memperpanjang hidup eosinofil. Eosinofil meninggalkan sirkulasi setelah ekspresi molekul adhesi diaktifkan oleh endotel dan eosinofil sendiri. Sedangkan kesintasan (survival) eosinofil, dipengaruhi oleh IL-5 dan GM-CSF. Sementara itu, apoptosis eosinofil dipengaruhi oleh IL-2.
Histamin meningkatkan fungsi eosinofil dalam memroduksi aseltilkolin, yang mengakibatkan hipperresponsifitas mukosa hidung. Selanjutnya, histamin meningkatkan produksi MBP/ECP dari eosinofil, sehingga dapat meningkatkan hiperresponsifitas dan sekresi kelenjar.
Dapat disimpulkan, interaksi sel-sel inflamasi di mukosa hidung akan melalui mediator kimiawi, yang dilepaskan dan akan mengakibatkan menetapnya sel, serta akan semakin tinggi akumulasinya terutama pada eosinofil. Sel eosinofil dalam ekspresi ICAM -1 yang selalu ditemukan pada endotel dan epitel, menunjukan gejala yang menetap setelah adanya pajanan alergen. Keadaan tersebut disebut inflamasi persisten minimal (minimal persisten inflammatio), akibat adanya inflamasi persisten minimal terjadi mukosa yang hiperreaktif yang menyebabkan terjadinya sumbatan hidung kronik, beringus dan bersin.
Keberhasilan pengobatan RA, tidak seperti pada penyakit infeksi. Apalagi bila telah terjadi komplikasi, seperti sinusitis kronik dan pembentukan polip. Pembentukan alergi yang ideal, mempunyai mekanisme kerja sebagai anti inflamasi dengan kemampuan untuk menurunkan jumlah sel-sel inflamasi terutama eosinofil. Misalkan melalui penekanan ekspresi molekul adhesi intersel (intercelluler adhesion molecule) 1 (ICAM-1), dan molekul adhesi sel vasculer (vascular cell adhesion molecule) 1 (VCAM-1). Maka, pengobatan RA yang rasional,disamping mampu menurunkan gejala, juga harus mampu meningkatkan kualitas hidup penderita
Berdasar kenyataan ini, semakin tinggi tingkat gejala rinitis alergi, semakin tinggi pula gangguan kualitas hidup seseorang. Sedangkan tingginya gejala rinitis alergi, berhubungan dengan tingginya akumulasi sel eosinofil mukosa hidung. Pengurangan akumulasi sel-sel eosinofil dalam mukosa hidung, merupakan langkah strategis rasional dalam pengobatan rinitis alergi, dengan metode apa pun.
Tidak ada komentar
Posting Komentar