Efektifitas Terapi Biomolekuler
Adanya alergi inflamasi merupakan bagian penting dari proses berbagai kondisi medis termasuk asma, atopik dermatitis, rhinitis alergi dan beberapa penyakit alergi lain. Reaksi alergi, umumnya dibagi menjadi dua kelompok: fase awal reaksi dan fase akhir reaksi, dengan gejala dari masing-masing tahap sangat bervariasi. Fase awal biasanya terjadi dalam beberapa menit atau detik, setelah terpapar alergen. Ini disebut reaksi alergi langsung atau reaksi alergi tipe 1.
Reaksi ini disebabkan pelepasan histamine dan protein granula sel mast, yang disebut sebagai degranulasi, serta memroduksi leukotrien, prostlagandin dan sitokin oleh sel mast secara silang dari alergen spesifik yang mengikat molekul IgE terhadap reseptor sel mast.
Mediator ini mempengaruhi sel-sel saraf, yang kemudian menimbulkan rasa gatal. Sel otot polos yang menyebabkan kontraksi (terjadi penyempitan pada saluran pernafasan, terlihat pada penyakit asma). Sel goblet mengakibatkan peningkatan produksi mukus, dan sel endothelial menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan pembengkakan.
Fase terakhir dari reaksi ini biasanya disebut reaksi alergi tipe 4 atau tipe hipersensitiviti tertunda, yang membutuhkan waktu antara 6-12 jam untuk dapat berkembang secara penuh setelah terpapar alergen. Hasil dari reaksi fase awal di antaranya kemokin dan molekul yang bekerja pada sel endotel, dan menghasilkan molekul adhesi intercellular (seperti molekul adhesi sel vaskuler dan selectins), yang menyebabkan terjadinya aktifasi leukocytes dalam darah, sehingga timbul reaksi alergi.
Secara tipikal, sel-sel yang menginfiltrasi dalam reaksi alergi ini mengandung limfosit dalam jumlah tinggi, terutama berasal dari eosinofil. Eosinofil yang ada, kemudian melakukan degranulasi sejumlah molekul sitotoksik (termasuk major basic protein dan eosinofil peroxsidase), yang kemudian memroduksi sejumlah sitokin seperti IL-5. Sel T yang direkrut, biasanya berasal dari beragam TH2 dan sitokin yang mengarah pada pembentukan sel mast dan eosinofil. Sel plasma isotipe akan menjadi IgE, yang kemudian mengikat reseptor sel mast secara individual sebagai suatu respon alergi.
Pengobatan yang dianjurkan ARIA WHO group tahun 2002, adalah dengan pencegahan kontak terhadap alergen, medikamentosa oral, topical steroid dan pertimbangan terapi immune allergen spesifik (TIAS). Bila terdapat komplikasi penyakit alergi lain, perlu juga pengobatan secara rasional.
Antihistamin
Pemberian antihistamin klasik (chlortrimetron, polaramin, incidal) mau pun antihistanim generasi terbaru non-sedatif, ternyata mampu menekan gejala rinitris alergi walau masih bersifat sementara. Antihistamin berpengaruh di hilir lingkar Rantai Reaksi Inflamasi Alergi (RRIA), dengan menghalangi terjadinya ikatan antara histamine dengan reseptornya di sel-sel organ target di perifer lingkar RRIA, sehinga gejala alergi tidak timbul.
Antihistamin generasi baru yang non-sedative, misalnya cetirizine, mampu menekan reaksi alergi lebih di “hulu” lingkar RRIA melalui hambatan produk molekul-molekul adhesi (ICAM-1 dan VCAM-1). Namun, apabila obat dihentikan kekambuhan akan terjadi.
Terapi steroid topical
Terapi ini dinyatakan aman dari efek samping sistemik serta penurunan gejala telah diuji secara nyata. Obat ini dapat bekerja di daerah “hulu” lingkar RRIA dan berperan meningkatkan jumlah dan fungsi generasi sel T. Dengan menggunakan dosis semprot hanya memerlukan 1 kali sehari pada hidung. Penghentian pemberian obat ini, akan diikuti kekambuhan. Terhadap rinitis alergi tipe mild-persisten dan tipe moderate-severe persisten, yang tidak menunjukkan perbaikan dengan obat, ARIA WHO menganjurkan dilakukan Terapi Imun Alergen Spesifik (TIAS).
Terapi Imun Alergen Spesifik (TIAS)
Penelitian biomolekuler yang dimulai pada tahun 1996 menunjukkan, TIAS pada pasien alergi hipersensitifitas tipe I (IgE mediated) teruji dapat berperan di daerah “hulu” lingkar RRIA. Saat ini, TIAS telah direkomendasikan oleh 3 asosiasi alergi utama dunia yaitu : the ACCAI (the American College of Allergy, Asthma, and Immunology), the AAAAI (the American Academy of Allergy, Astma and Immunology), dan the JCAAI (the Joint Consultan of Allergy, Asthma, and Immunology).
TIAS diartikan sebagai suatu pemberian atau penyuntikan alergen spesifik, kepada pasien yang menunjukkan kondisi IgE mediated. Tujuannya memberikan perlindungan terhadap gejala-gejala alergi dan reaksi inflamasi, yang berhubungan dengan paparan alergi alami.
Jenis-jenis TIAS, cara penyuntikan dan dosis:
- Conventional Immunotherapy adalah pemberian satu suntikan subkutan untuk masing-masing alergen. Dengan dosis yang ditingkatkan secara bertahap, seminggu 2 kali. Dalam hal ini, pencapaian dosis pemeliharaan biasanya tercapai setelah 20 kali kunjungan. Reaksi sistemik atau anafilaktik cukup sering (1-2%), yang terjadi 20-30 menit setelah dilakukan penyuntikan.
- Cluster immunotherapy adalah TIAS dengan pemberian dua atau lebih suntikan subkutan untuk setiap jenis allergen, dengan dosis bertingkat pada setiap kunjungan pasien. Ditujukan untuk mempercepat tercapainya dosis pemeliharaan, bila dibandingkan dengan jadwal konvensional. Namun, di sini angka kejadian reaksi sistemik akan lebih sering terjadi.
- Rush Immunotherapy adalah TIAS dengan penyuntikan subkutan alergen dengan dosis meningkat bertahap, berulang, berkisar antara 15-30 menit dan 24 jam sampai tercapainya dosis optimal efektif. Dosis optimal tersebut bisa dicapai lebih cepat, tentu dengan konsekwensi terjadinya reaksi sistemik jauh lebih sering terjadi mencapai 55% dan reaksi anafilaktik mencapai 3,7%. Diperlukan premedikasi serta perawatan di rumah sakit. Premedikasi pra suntikan TIAS, berupa antihistamin dan kortikosteroid, namun masih ditemukan reaksi sistemik sebesar 27%.
- Modified rush immunotherapy adalah TIAS dengan pemberian suntikan alergen subkutan dalam interval 24 jam. Pada kelompok ini, premedikasi tidak diperlukan lagi.
- TIAS dapat diberikan melalui cara lain: high dose sublingual-swallow, high dose sublingual-spit, dan TIAS per-oral.
Jenis allergen, dosis awal dan dosis pemeliharaan TIAS
Dalam fase ini, jenis alergen yang diberikan dapat secara tunggal atau multiple. Pemilihan alergen harus secara seksama sebagai allergen domain, yang berperan pada pasien dengan tingkat hipersensitifitas tes kulit dengan nilai 3+ atau 4+. Di negara 4 musim, allergen domain berasal dari serbuk bunga rumput, bunga cedar, spora jamur. Di Indonesia, sampai saat ini jenis alergen TIAS yang digunakan pada rinitis alergi (RA) adalah tungau dematophagoideus, debu rumah dan mixed fungi.
Pemberian dosis selalu dimulai dari dosis yang sangat rendah, kemudian dinaikan bertahap dengan interval waktu. Periode ini dinamakan build up dose and schedule, hingga tercapai dosis pemeliharaan. Namun indicator penetapan dosis pemeliharaan ini masih sangat beragam. Menurut Sumarman (1966) ditetapkan sebagai berikut, “Dosis pemberian umumnya ditetapkan sebagai dosis optimal, yang menimbulkan diameter bintul ≤ 30 mm, pada 15 menit pasca suntik intradermal. Pada individu yang sangat sensitive, diatur oleh rasio antara bintul 15 menit vs 0 menit yang harus ≤ 2,5.
Dosis pemeliharaan kemudian diberikan dengan interval waktu 2 minggu sekali. Tapi, perpanjangan waktu interval dan jumlah kunjungan pasien per intervalnya masih beragam. Dalam kaintan ini, Sumarman (1996) melakukan cara : 2 minggu sekali sekitar 6x, 3 minggu sekali sekitar 3x, 5 minggu sekali 2x, kemudian berturut-turut 2 bulan sekali, 3 bulan, 4 bulan, 5 bulan dan 6 bulan sekali.
Lamaya pemberian bisa berlangsung selama 3-5 tahun. Namun, lama penyuntikan TIAS sangatlah individual, dilihat dari respon klinik, beratnya penyakit, riwayat reaksi TIAS dan keinginan pasien. Dalam waktu 2-4 tahun setelah suntikan TIAS dihentikan, kekambuhan cukup sering terjadi. Pada kasus semacam ini, TIAS harus dilakukan kembali (re-TIAS) yang diawali dengan dosis kecil dan bertahap di tingkatkan, termasuk interval waktunya dengan menggunakan individual jumping dose and interval.
Banyak penelitian yang menyatakan, TIAS menggunakan alergen vaksin serbuk bunga rumput, debu rumah, tungau DPt, serpihan kulit anjing sangat efektif dalam menurunkan gejala rinitis alergi, serta menurunkan konsumsi obat AH-1. Perbaikan ini umumnya dilihat setelah satu tahun pencapaian dosis optimal.
Penelitian dilakukan oleh bagian THT RS. Hasan Sadikin Bandung, pada kelompok RA yang mempergunakan alergen tunggal dan allergen multiple. Dalam jangka weaktu 3 bulan menjalani TIAS, kedua kelompok sama-sama menunjukkan penurunan gejala rinitis alergi yang nyata dan bermakna bila dibandingkan pra-TIAS. Namun, penurunan gejala antara kedua kelompok tersebut tidak berbeda bermakna, sehingga direkomendasikan pemberian alergen tunggal tungau DPt saja.
Pengaruh TIAS terhadap akumulasi sel eosinofil mukosa hidung
Sumarman (1996) mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa TIAS pada pasien rinitis alergi (TKC 3+ dan 4+) dengan ekstrak alergen debu rumah dan tungau debu rumah selama 12-15 bulan, mampu menurunkan populasi sel eosinofil mukosa konkadengan sangat bermakna, walau diprovokasi oleh alergen alamiah tempat tidur. Dalam study ini juga diungkapkan bahwa eosinofil yang teraktifasi pada permukaan epitel mukosa konka hidung, dapat digunakan sebagai indicator praktis pengukur efektifitas TIAS pada rinitis alergi. Sehingga cukup melalui sediaan kerokan mukosa hidung tanpa harus dilakukan biopsy.
Pada penelitan-penelitian selanjutnya diketahui, setelah menjalani TIAS pasien rinitis alergi mampu merubah profil sitokin IL-12 dan IN-γ (Durham dan Till, 1998). Serta pada rasio IL-4/IFN- γ terjadi penurunan secara bermakna.
Dalam kaitan dengan rasio IL-4/IFN γ pada RS. Hasan Sadikin, Bandung , peneliti Ahwil (2005) menyatakan, tidak terjadi perbedaan bermakna rasio kadar IL-4/IFN γ antara kedua kelompok alergen tunggal, dibandingkan dengan satu kelompok dua alergen. Dengan demikian, TIAS cukup menggunakan alergen tunggal tungau DPt saja.
Tidak ada komentar
Posting Komentar