Pengelolaan Perenial Rinitis Alergi
Pengelolaan Perenial Rinitis Alergi
Menghindari alergen, penting untuk mencegah rhinitis alergika. Tapi, pendekatan ini tidak bisa berdiri sendiri. Pasien perlu diterapi obat.
Pengelolaan yang efektif dapat mencegah dampak buruk dari Perenial Rinitis Alergi, dapat mengembalikan kualitas hidup pasien, mencegah eksaserbasi patologi komorbid dan menurunkan beban penyakit. Sebuah tinjauan yang dipublikasikan pada MEDLINE, bertujuan untuk menilai efektifitas terapi farmakologi pada pasien dengan Persisten Alergy Rhinitis (PAR), seperti menghindari allergen, penggunaan intranasal kortikosteroid, Antihistamin, dekongestan dan Chromones.
Menghindari alergen
Menghindari alergen merupakan penatalaksanaan lini pertama pada PAR. Mengurangi alergen secara langsung pada lingkungan, akan memberikan dampak yang signifikan terhadap frekuensi dan tingkatan gejala. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukukan, tergantung dari penyebab alergi masing-masing. Rutin membersihkan rumah, menjaga sirkulasi udara, mencuci dan menjemur seprai, mengganti karpet dengan lantai semen (keramik) dan secara teratur membersihkan permukaan lantai merupakan langkah-langkah umum memberantas alergen.
Meski kita secara teratur membersihkan lingkungan, masih banyak alergen yang mampu bertahan dalam waktu yang lama dan mudah berpindah antara lingkungan. Tidak mungkin untuk menghindari semua allergen dari lingkungan. Jika penyebab alergi adalah suatu pekerjaan, menghindari pekerjaan dimaksud mungkin menjadi tidak realistis. Oleh karena itu, sering dibutuhkan penggobatan untuk mengontrol gejala PAR.
Tungau (kutu)
Beberapa langkah spesifik menghindari kutu, telah dipelajari dalam berbagai penelitian klinis. Hasilnya bervariasi. Sebagai contoh, menutup kasur dengan rapat terbukti mencegah kutu dan debu rumah penyebab alergi menempel pada seprei. Di samping itu, penelitian acak menunjukkan, penggunaan selimut kasur kedap debu-kutu dan kontrol lingkungan yang spesifik, membuat anak-anak lebih kecil kemungkinanya mengalami peningkatan sensitifitas tungau debu. Juga, terjadi penurunan gejala alergi hidung. Studi lain menunjukan, seprei kedap akan mengurangi secara signifikan tingkat pajaan terhadap alergen tungau, meski tidak ada catatan mengenai perbaikan gejala rhinitis alergi.
Binatang
Untuk alergi terhadap binatang, mengeluarkan binatang dari rumah merupakan pilihan utama. High-efficiency particulate air (HEPA) pada penyedot debu, terbukti mampu mengurangi konsentrasi dan ukuran partikel penyebab alergi udara. Tetapi, dalam studi ini tidak dinilai dampak alergi pada penurunan gejala.
Sebuah studi lebih lanjut menunjukkan, walau udara ruangan dibersihkan dari HEPA, sarung bantal dan selimut diganti dan binatang peliharaan di keluarkan dari dalam rumah, tidak terlihat adanya pengaruh aktivitas penyakit. Maka, walau menghindari alergen bisa memberi manfaat, cara ini tetap tidak cukup untuk menghindari alergi. Diperlukan tindakan lainnya.
Pilihan Farmakologi
Untuk rhinitis alergi persisten, ada sejumlah pilihan pengobatan yang dapat dilakukan. Untuk pasien dengan gejala ringan, dianjurkan pemberian H1-antagonis receptor oral dan formulasi nasal, INS, local chromones dan oral intranasal dekonghestan. Agen antikolinergik intransal juga dianjurkan pada kasus-kasus di mana terdapat gejala utama seperti Rhinorrhea. Antileukotrienes, seperti montelukast, baru-baru ini disetujui sebagai pengobatan hidung tersumbat akibat rhinitis alergi.
1. INS (Intranasal corticosteroids)
Dalam kasus rhinitis alergi persisten moderat sampat berat, INS digunakan sebagai lini pertama pengobatan. Agen ini dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan, agar dapat mengobati secara optimal, tergantung dari besar kecilnya gejala.
Terdapat 6 jenis formulasi cairan INS, yang saat ini direkomendasikan untuk pengobatan rinitis alergi persisten di Amerika serikat untuk anak-anak dan dewasa, diantaranya : beclomethasone dipropionate (BDP), budesonide, flunisolide, fluticasone propionate (FP), mometasone furoate (MF) dan triamcinolone acetonide (TAA).
Walau mekanisme yang tepat dari penggunaan kortikosteroid belum sepenuhnya terungkap, agen ini memberi dampak besar tehadap respon inflamasi. Juga mampu menekan berbagai elemen, yang timbul akibat kaskade inflamasi alergi. Dengan mengikat reseptor glukokortikoid di sel epitel hidung, kortikosteroid memodulasi ekspresi beberapa gen, yang memainkan peran penting dalam respon inflamasi.
Fungsi lain dari kortikosteroid, adalah mampu mengurangi infiltrasi dan kelangsungan hidup eosinofil. Juga mampu menekan ekspresi dari sitokin IL-3, IL-4, IL-5 dan Il-13, serta secara dramatis mampu mengurangi infiltrasi sel inflamasi pada mukosa hidung. Kortikoseroid juga mengurangi pelepasan beberapa mediator inflamasi kimia. Termasuk diantaranya histamine, tryptase dan leukotrienes, meski efek ini lebih besar kemungkinannya disebabkan penurunan jumlah sel radang pada epitel.
Beberapa kerugian yang timbul dari penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid seperti penipisan kulit, osteoporosis dan sindrom cushing, tidak bisa diklasifikasikan secara bersama-sama antara INS dan kortikosteroid sistemik. Tak lain karena kedua obat ini memiliki efek samping berbeda. Untuk mengurangi efek samping, pemberian kortikosteroid secara lokal digunakan dalam dosis yang lebih rendah. Sementara dengan membaiknya profil farmakokinetik dan menurunnya bioavailbilitas agen-agen INS yang baru, risiko efek samping sistemik INS menurun.
Pemburukan lokal yang terkait dengan INS, umumnya kecil dan mudah dikelola meliputi iritasi pada bagian epitel hidung, mimisan ringan dan sakit kepala. Kejadian ini umumnya bisa diatasi, meski ada yang berlangsung dalam jangka waktu agak lama. Menggantinya dengan agen lain, dapat menghilangkan gejala.
Perforiasi sputum adalah efek samping yang sangat jarang terjadi pada terapi INS. Sehingga pasien dianjurkan untuk mengarahkan semprotan menjauhi putum untuk meminimalkan resiko perforiasi sputum.
Pemburukan sistemik
Penekanan pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), merupakan efek samping dari kortikosteroid sistemik. Namun, sejumlah studi klinis menunjukkan bahwa TAA, MF dan FP tidak berpengaruh terhadap HPA axis. Sebuah studi pendahuluan tidak menemukan adanya bukti penekanan HPA axis, pada penggunaan FP 200 μg perhari dan TAA 220 μg perhari, jika digunakan dalam kombinasi dengan agen yang sama pada dosis klinis yang direkomendasikan sebagai alat semprot (FP 1760 μg dan TAA 1600 μg setiap hari). Dianjurkan untuk menggunakan dosis kortikosteroid serendah mungkin, karena adanya efek potensial aditif dari penggunaan intranasal dan kortikosteroid inhaler.
Meningkatnya kekhawatiran akan efek samping penggunaan INS terapi dalam jangka panjang pada pertumbuhan linear seorang anak, ternyata tidak benar. Beberapa bukti data yang dikumpulkan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan, terapi INS jangka panjang tidak memiliki efek samping yang signifikan terhadap pertumbuhan seorang anak. Sebagai contoh, penggunaan selama 1 tahun MF 100 μg sehari sekali, tidak terdapat bukti yang menunjukkan adanya penekanan pertumbuhan atau pada penekanan metabolisme pembentukan tulang pada anak dengan persistan rhinitis alergi.
Hal yang sama, ditunjukkan pada studi menggunakan FP 100 μg. Dosis 2 kali sehari selama 1 tahun pada seorang anak umur 1-3 tahun, tidak menunjukkan efek yang signifikan pada pertumbuhan anak tersebut. Pada studi lain, yang dilakukan selama 1 tahun pada anak usia 6-14 tahun, juga tidak menunjukkan efek yang signifikan pada kecepatan pertumbuhan seorang anak pada pengobatan menggunakan TAA. Dan pada studi yang membandingkan antara penggunaan TAA 110 μg dan FP 200 μg perhari pada anak, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan kecepatan pertumbuhan bila dibandingkan pada group yang menggunakan placebo.
2. Antagonists H1-Reseptor
Antagopnist H1-reseptor merupakan pengobatan utama pada pasien rhinitis alergi persistan (PAR) ringan hingga sedang, dan di golongkan ke dalam agen generasi pertama dan kedua. Generasi pertama anti histamine, diketahui sangat efektif untuk pengobatan gejala PAR, tetapi diketahui menyebabkan berbagai dampak buruk karena kurangnya selektifitas yang mengakibatkan beberapa efek antikolinergik. Seperti mulut kering, takikardia, retensi urine dan gangguan pencernaan. Lebih jauh, dampak buruk ini disebabkan oleh ketidak mampuan agen generasi pertama untuk melewati dinding pembuluh darah, yang mengakibatkan sedasi dan gangguan psikomotor serta fungsi kognitif. Antihistamin nasal seperti levocabastine, azelastine dan antazoline bisa dipastikan tidak menyebabkan pemburukan pada organ terkait.
Anti histamine generasi ke 2 seperti cetirizine, loratadine, desloratadine dan fexofenadine juga terbukti efektif untuk mengontrol gejala utama PAR ringan hingga sedang. Tetapi lebih selektif sebagai antagonis H1-reseptor, bila dibandingkan dengan generasi pendahulunya yang memiliki kecenderungan lebih rendah untuk melewati sawar darah otak. Berkaitan dengan profil keamanaan yang membaik, laporan konsensus baru-baru ini merekomendasikan antihistamin generasi kedua harus digunakan sebagai ganti agen generasi pertama, pada semua pasien dengan rhinitis alergi (AR).
Generasi kedua oral antihistamin, umumnya memiliki onset yang cepat (1-3 jam) dan juga sangat nyaman untuk digunakan dengan formulasi sehari sekali. Namun bila dibandingkan dengan INS, antihistamin oral kurang begitu efektif terhadap kongesti hidung. Oleh sebab itu, pada kondisi PAR sedang hingga berat, anti histamine sering digunakan bersamaan dengan penggunaan INS atau dekongestan.
3. Oral dan Intranasal Decongestants
Pada pasien dengan gejala hidung tersumbat sedang hingga berat, dekongestan digunakan sebagai terapi pendamping selain penggunaan INS. Untuk sementara ini, agen intranasal terbukti lebih cepat bila dibandingkan dengan agen oral, dengan durasi pengobatan yang kurang dari 10 hari untuk mencegah rinitis alergi.
Dekongestan intranasal tidak digunakan sebagai terapi jangka panjang, kecuali dalam kondisi pasien yang sangat parah. Beberapa pemburukan yang dikaitkan dengan penggunaan dekongestan oral, terutama jika diberikan dalam dosis yang sangat besar; meliputi mudah tersinggung, pusing, sakit kepala, tremor dan imsomnia. Perhatian lebih perlu diberikan terhadap pasien yang sedang hamil dan orang tua yang menggunakan dekongestan oral.
Tedapat kombinasi dekongestan oral dengan generasi kedua anti histamine oral. Ada studi terbatas penggunaan kombinasi antara dekongestan oral dan antihistamin oral generasi kedua pada PAR. Studi ini menunjukkan, kombinasi tersebut lebih efektif mengobati pasien dengan alergi rhinitis musiman, bila dibandingakn pengobatan secara monoterapi.
4. Chromones Lokal
Chromones lokal diangap kurang begitu efektif, dibandingkan dengan pengobatan lain. Selain itu, juga memiliki efek terapi yang sangat singkat. Meski hanya diberikan pada pengobatan alergi rinitis musiman. Chromones dapat digunakan sebagai pengobatan PAR dengan gejala ringan, terutama pada anak-anak dengan profil keamanan yang sangat baik. Namun, tingkat kepatuhan sangat kurang karena dosisnya 2-3 kali sehari.
5. Omalizumab
Meski belum mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika, sebagai pengobatan PAR, omalizumab telah menunjukkan secara efektif sebagai terapi pada pasien PAR dan alergi rinitis musiman. Omalizumab merupakan antibodi yang mengikat IgE, menjaga ikatan IgE pada basophils, melemahkan mediator dan mengurangi gejala alergi.Omalizumab telah terbukti dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh.
Menghindari alergen, penting untuk mencegah rhinitis alergika. Tapi, pendekatan ini tidak bisa berdiri sendiri. Pasien perlu diterapi obat.
Pengelolaan yang efektif dapat mencegah dampak buruk dari Perenial Rinitis Alergi, dapat mengembalikan kualitas hidup pasien, mencegah eksaserbasi patologi komorbid dan menurunkan beban penyakit. Sebuah tinjauan yang dipublikasikan pada MEDLINE, bertujuan untuk menilai efektifitas terapi farmakologi pada pasien dengan Persisten Alergy Rhinitis (PAR), seperti menghindari allergen, penggunaan intranasal kortikosteroid, Antihistamin, dekongestan dan Chromones.
Menghindari alergen
Menghindari alergen merupakan penatalaksanaan lini pertama pada PAR. Mengurangi alergen secara langsung pada lingkungan, akan memberikan dampak yang signifikan terhadap frekuensi dan tingkatan gejala. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukukan, tergantung dari penyebab alergi masing-masing. Rutin membersihkan rumah, menjaga sirkulasi udara, mencuci dan menjemur seprai, mengganti karpet dengan lantai semen (keramik) dan secara teratur membersihkan permukaan lantai merupakan langkah-langkah umum memberantas alergen.
Meski kita secara teratur membersihkan lingkungan, masih banyak alergen yang mampu bertahan dalam waktu yang lama dan mudah berpindah antara lingkungan. Tidak mungkin untuk menghindari semua allergen dari lingkungan. Jika penyebab alergi adalah suatu pekerjaan, menghindari pekerjaan dimaksud mungkin menjadi tidak realistis. Oleh karena itu, sering dibutuhkan penggobatan untuk mengontrol gejala PAR.
Tungau (kutu)
Beberapa langkah spesifik menghindari kutu, telah dipelajari dalam berbagai penelitian klinis. Hasilnya bervariasi. Sebagai contoh, menutup kasur dengan rapat terbukti mencegah kutu dan debu rumah penyebab alergi menempel pada seprei. Di samping itu, penelitian acak menunjukkan, penggunaan selimut kasur kedap debu-kutu dan kontrol lingkungan yang spesifik, membuat anak-anak lebih kecil kemungkinanya mengalami peningkatan sensitifitas tungau debu. Juga, terjadi penurunan gejala alergi hidung. Studi lain menunjukan, seprei kedap akan mengurangi secara signifikan tingkat pajaan terhadap alergen tungau, meski tidak ada catatan mengenai perbaikan gejala rhinitis alergi.
Binatang
Untuk alergi terhadap binatang, mengeluarkan binatang dari rumah merupakan pilihan utama. High-efficiency particulate air (HEPA) pada penyedot debu, terbukti mampu mengurangi konsentrasi dan ukuran partikel penyebab alergi udara. Tetapi, dalam studi ini tidak dinilai dampak alergi pada penurunan gejala.
Sebuah studi lebih lanjut menunjukkan, walau udara ruangan dibersihkan dari HEPA, sarung bantal dan selimut diganti dan binatang peliharaan di keluarkan dari dalam rumah, tidak terlihat adanya pengaruh aktivitas penyakit. Maka, walau menghindari alergen bisa memberi manfaat, cara ini tetap tidak cukup untuk menghindari alergi. Diperlukan tindakan lainnya.
Pilihan Farmakologi
Untuk rhinitis alergi persisten, ada sejumlah pilihan pengobatan yang dapat dilakukan. Untuk pasien dengan gejala ringan, dianjurkan pemberian H1-antagonis receptor oral dan formulasi nasal, INS, local chromones dan oral intranasal dekonghestan. Agen antikolinergik intransal juga dianjurkan pada kasus-kasus di mana terdapat gejala utama seperti Rhinorrhea. Antileukotrienes, seperti montelukast, baru-baru ini disetujui sebagai pengobatan hidung tersumbat akibat rhinitis alergi.
1. INS (Intranasal corticosteroids)
Dalam kasus rhinitis alergi persisten moderat sampat berat, INS digunakan sebagai lini pertama pengobatan. Agen ini dapat diberikan secara terpisah atau dikombinasikan, agar dapat mengobati secara optimal, tergantung dari besar kecilnya gejala.
Terdapat 6 jenis formulasi cairan INS, yang saat ini direkomendasikan untuk pengobatan rinitis alergi persisten di Amerika serikat untuk anak-anak dan dewasa, diantaranya : beclomethasone dipropionate (BDP), budesonide, flunisolide, fluticasone propionate (FP), mometasone furoate (MF) dan triamcinolone acetonide (TAA).
Walau mekanisme yang tepat dari penggunaan kortikosteroid belum sepenuhnya terungkap, agen ini memberi dampak besar tehadap respon inflamasi. Juga mampu menekan berbagai elemen, yang timbul akibat kaskade inflamasi alergi. Dengan mengikat reseptor glukokortikoid di sel epitel hidung, kortikosteroid memodulasi ekspresi beberapa gen, yang memainkan peran penting dalam respon inflamasi.
Fungsi lain dari kortikosteroid, adalah mampu mengurangi infiltrasi dan kelangsungan hidup eosinofil. Juga mampu menekan ekspresi dari sitokin IL-3, IL-4, IL-5 dan Il-13, serta secara dramatis mampu mengurangi infiltrasi sel inflamasi pada mukosa hidung. Kortikoseroid juga mengurangi pelepasan beberapa mediator inflamasi kimia. Termasuk diantaranya histamine, tryptase dan leukotrienes, meski efek ini lebih besar kemungkinannya disebabkan penurunan jumlah sel radang pada epitel.
Beberapa kerugian yang timbul dari penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid seperti penipisan kulit, osteoporosis dan sindrom cushing, tidak bisa diklasifikasikan secara bersama-sama antara INS dan kortikosteroid sistemik. Tak lain karena kedua obat ini memiliki efek samping berbeda. Untuk mengurangi efek samping, pemberian kortikosteroid secara lokal digunakan dalam dosis yang lebih rendah. Sementara dengan membaiknya profil farmakokinetik dan menurunnya bioavailbilitas agen-agen INS yang baru, risiko efek samping sistemik INS menurun.
Pemburukan lokal yang terkait dengan INS, umumnya kecil dan mudah dikelola meliputi iritasi pada bagian epitel hidung, mimisan ringan dan sakit kepala. Kejadian ini umumnya bisa diatasi, meski ada yang berlangsung dalam jangka waktu agak lama. Menggantinya dengan agen lain, dapat menghilangkan gejala.
Perforiasi sputum adalah efek samping yang sangat jarang terjadi pada terapi INS. Sehingga pasien dianjurkan untuk mengarahkan semprotan menjauhi putum untuk meminimalkan resiko perforiasi sputum.
Pemburukan sistemik
Penekanan pada hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), merupakan efek samping dari kortikosteroid sistemik. Namun, sejumlah studi klinis menunjukkan bahwa TAA, MF dan FP tidak berpengaruh terhadap HPA axis. Sebuah studi pendahuluan tidak menemukan adanya bukti penekanan HPA axis, pada penggunaan FP 200 μg perhari dan TAA 220 μg perhari, jika digunakan dalam kombinasi dengan agen yang sama pada dosis klinis yang direkomendasikan sebagai alat semprot (FP 1760 μg dan TAA 1600 μg setiap hari). Dianjurkan untuk menggunakan dosis kortikosteroid serendah mungkin, karena adanya efek potensial aditif dari penggunaan intranasal dan kortikosteroid inhaler.
Meningkatnya kekhawatiran akan efek samping penggunaan INS terapi dalam jangka panjang pada pertumbuhan linear seorang anak, ternyata tidak benar. Beberapa bukti data yang dikumpulkan beberapa tahun belakangan ini menunjukkan, terapi INS jangka panjang tidak memiliki efek samping yang signifikan terhadap pertumbuhan seorang anak. Sebagai contoh, penggunaan selama 1 tahun MF 100 μg sehari sekali, tidak terdapat bukti yang menunjukkan adanya penekanan pertumbuhan atau pada penekanan metabolisme pembentukan tulang pada anak dengan persistan rhinitis alergi.
Hal yang sama, ditunjukkan pada studi menggunakan FP 100 μg. Dosis 2 kali sehari selama 1 tahun pada seorang anak umur 1-3 tahun, tidak menunjukkan efek yang signifikan pada pertumbuhan anak tersebut. Pada studi lain, yang dilakukan selama 1 tahun pada anak usia 6-14 tahun, juga tidak menunjukkan efek yang signifikan pada kecepatan pertumbuhan seorang anak pada pengobatan menggunakan TAA. Dan pada studi yang membandingkan antara penggunaan TAA 110 μg dan FP 200 μg perhari pada anak, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan kecepatan pertumbuhan bila dibandingkan pada group yang menggunakan placebo.
2. Antagonists H1-Reseptor
Antagopnist H1-reseptor merupakan pengobatan utama pada pasien rhinitis alergi persistan (PAR) ringan hingga sedang, dan di golongkan ke dalam agen generasi pertama dan kedua. Generasi pertama anti histamine, diketahui sangat efektif untuk pengobatan gejala PAR, tetapi diketahui menyebabkan berbagai dampak buruk karena kurangnya selektifitas yang mengakibatkan beberapa efek antikolinergik. Seperti mulut kering, takikardia, retensi urine dan gangguan pencernaan. Lebih jauh, dampak buruk ini disebabkan oleh ketidak mampuan agen generasi pertama untuk melewati dinding pembuluh darah, yang mengakibatkan sedasi dan gangguan psikomotor serta fungsi kognitif. Antihistamin nasal seperti levocabastine, azelastine dan antazoline bisa dipastikan tidak menyebabkan pemburukan pada organ terkait.
Anti histamine generasi ke 2 seperti cetirizine, loratadine, desloratadine dan fexofenadine juga terbukti efektif untuk mengontrol gejala utama PAR ringan hingga sedang. Tetapi lebih selektif sebagai antagonis H1-reseptor, bila dibandingkan dengan generasi pendahulunya yang memiliki kecenderungan lebih rendah untuk melewati sawar darah otak. Berkaitan dengan profil keamanaan yang membaik, laporan konsensus baru-baru ini merekomendasikan antihistamin generasi kedua harus digunakan sebagai ganti agen generasi pertama, pada semua pasien dengan rhinitis alergi (AR).
Generasi kedua oral antihistamin, umumnya memiliki onset yang cepat (1-3 jam) dan juga sangat nyaman untuk digunakan dengan formulasi sehari sekali. Namun bila dibandingkan dengan INS, antihistamin oral kurang begitu efektif terhadap kongesti hidung. Oleh sebab itu, pada kondisi PAR sedang hingga berat, anti histamine sering digunakan bersamaan dengan penggunaan INS atau dekongestan.
3. Oral dan Intranasal Decongestants
Pada pasien dengan gejala hidung tersumbat sedang hingga berat, dekongestan digunakan sebagai terapi pendamping selain penggunaan INS. Untuk sementara ini, agen intranasal terbukti lebih cepat bila dibandingkan dengan agen oral, dengan durasi pengobatan yang kurang dari 10 hari untuk mencegah rinitis alergi.
Dekongestan intranasal tidak digunakan sebagai terapi jangka panjang, kecuali dalam kondisi pasien yang sangat parah. Beberapa pemburukan yang dikaitkan dengan penggunaan dekongestan oral, terutama jika diberikan dalam dosis yang sangat besar; meliputi mudah tersinggung, pusing, sakit kepala, tremor dan imsomnia. Perhatian lebih perlu diberikan terhadap pasien yang sedang hamil dan orang tua yang menggunakan dekongestan oral.
Tedapat kombinasi dekongestan oral dengan generasi kedua anti histamine oral. Ada studi terbatas penggunaan kombinasi antara dekongestan oral dan antihistamin oral generasi kedua pada PAR. Studi ini menunjukkan, kombinasi tersebut lebih efektif mengobati pasien dengan alergi rhinitis musiman, bila dibandingakn pengobatan secara monoterapi.
4. Chromones Lokal
Chromones lokal diangap kurang begitu efektif, dibandingkan dengan pengobatan lain. Selain itu, juga memiliki efek terapi yang sangat singkat. Meski hanya diberikan pada pengobatan alergi rinitis musiman. Chromones dapat digunakan sebagai pengobatan PAR dengan gejala ringan, terutama pada anak-anak dengan profil keamanan yang sangat baik. Namun, tingkat kepatuhan sangat kurang karena dosisnya 2-3 kali sehari.
5. Omalizumab
Meski belum mendapatkan persetujuan dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Amerika, sebagai pengobatan PAR, omalizumab telah menunjukkan secara efektif sebagai terapi pada pasien PAR dan alergi rinitis musiman. Omalizumab merupakan antibodi yang mengikat IgE, menjaga ikatan IgE pada basophils, melemahkan mediator dan mengurangi gejala alergi.Omalizumab telah terbukti dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh.
Tidak ada komentar
Posting Komentar