Terapi Berbasis Inkretin
Terapi Berbasis Inkretin
Terapi dengan analog GLP-1 atau penghambat DPP IV masih baru untuk diabetes mellitus tipe 2. Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Diabetes melitu tipe 2 adalah penyakit yang ditandai resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Lebih lanjut, kondisi ini juga ditandai tingginya kadar glukagon dalam plasma yang sulit turun atau bahkan meningkat, setelah glukosa atau karbohidrat masuk ke dalam tubuh secara oral. Sebab itu, diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit kompleks. Pengobatan yang optimal perlu dilakukan secara menyeluruh.
Banyak pasien yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekwat. Sebab, pengobatan yang ada saat ini memiliki sejumlah keterbatasan, termasuk masalah keamanan dan tolerabilitas. Misalnya masalah hipoglikemia, penambahan berat badan dan efek samping pada saluran cerna.
“Walau pengobatan diabetes diberikan secara intensif dengan mengombinasikan beberapa obat antidiabetes, kontrol gula darah memburuk bersamaan dengan berjalannya waktu. Ini menunjukkan adanya kemunduran fungsi sel beta,” ujar Prof. dr. Ketut Suastika Sp.PD-KEMD dari Universitas Udayana, Bali, pada suatu symposium di Jakarta.
Karena itu, dilakukan pencaria terus menerus terapi terapeutik baru untuk mengatasi keterbatasan pengobatan yang ada saat ini. Suatu strategi pengobatan yang baru, seharusnya tidak hanya mengobati hiperglikemia yang merupakan masalah utama pada penyakit ini, tapi juga mencegah progresi dan komplikasi yang diakibatkan penyakitnya.
Selama 40 tahun, diabetologis tertarik pada hubungan usus dengan sekresi insulin. Penelitian-penelitian terkini menunjukkan, hormon-hormon yang dikeluarkan usus, GLP-1 dan GIP, adalah dua kunci utama dalam hemostasis glukosa pada subyek sehat. Hormon-hormon ini adalah peptida gastrointestinal, disekresikan dari sel-sel L dan K usus kecil setelah makanan masuk ke dalam usus.
Hormon-hormon itu bekerja meningkatkan sekresi insulin setelah makan, sesuai dengan jumlah glukosa yang masuk ke dalam usus. Dari berbagai penelitian terlihat, efek GLP-1 masih tetap ada pada pasien diabetes mellitus tipe 2, sementara efek GIP mengalami gangguan. Pemberian GLP-1 intravena secara terus menerus, mampu menormalkan kadar glukosa dalam darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Tetapi, GLP-1 intravena dapat dengan cepat berdegradasi dan tidak bisa digunakan secara rutin.
Pada 2002, Zander et al. menunjukkan dalam penelitiannya bahwa enam minggu pemberian GLP-1 secara subkutan (menggunakan pompa insulin), secara signifikan menurunkan HbA1C, berat badan dan memperbaiki respon inbulin fase pertama. Karena GLP-1 secara cepat dinonaktifkan oleh enzim DPP IV, ada dua prinsip utama terapi GLP-1: 1) berikan analog GLP-1 aksi panjang yang resisten terhadap DPP IV, dan 2) berikan penghambat DPP IV, yang menunjukkan dapat melindungi hormon endogen dan meningkatkan aktivitas hormon tersebut.
Degradasi GLP-1
DPP IV adalah suatu serine protease, yang didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam amino dari peptida kecil mengandung alanine atau proline di posisi kedua peptida N-terminus. Enzim ini, disebut juga T-cell antigen CD26, ditemukan di berbagai lokasi termasuk usus dan membran brush-border ginjal, di hepatosit dan sel-sel endotel pembuluh kapiler dan dalam bentuk larut dalam plasma.
Walau secara spesifik enzim ini memiliki peran dalam metabolism berbagai peptida endogen, terlihat DPP IV memiliki peran penting dalam menonaktifkan GLP-1. Deacon et al. menunjukkan bahwa pemotongan N-terminal GLP-1 endogen dan eksogen mungkin memiliki peran fisiologis dalam mendegredasi GLP-1 native dengan cepat.
Peptida tersebut tampak memiliki paruh hidup dalam plasma selama 1-2 menit, dengan kecepatan klirens metabolik sebesar 5–10 L/menit, melebihi output kardiak dengan faktor sebesar 2 sampai 3. Pada pasien diabetes mellitus tipe 2, berbagai penelitian menunjukkan hubungan antara kontrol glikemia dan aktivitas DPP IV dalam plasma. Tetapi, tidak ada hubungannya dengan jumlah hormon aktif secara biologis dalam plasma.
Pada tahun 2000, Marguet et al. menunjukkan, tikus dengan gen CD26 yang diatur memiliki GLP-1 endogen yang tinggi. Ini mendukung pentingnya DPP IV dalam metabolisme GLP-1. Penelitian lain oleh Deacon dan kawan-kawan menunjukkan, penghambatan DPP IV dapat menghambat sepenuhnya degradasi terminal N pada GLP-1 native in vivo. Ini juga dihubungkan dengan meningkatnya efek insulinotropik.
Mimetik inkretin
Mimetik inkretin adalah kelas baru agen farmakologis dengan daya kerja antihiperglikemik multiple, menyerupai beberapa efek hormon inkretin endogen. Salah satunya adalah meningkatkan sekresi insulin. Walau agen-agen ini memiliki efek mengatur kadar glukosa yang sama dengan GLP-1, mekanisme kerjanya mungkin tidak hanya dimediasi melalui reseptor GLP-1 pankreas. Sebab itu, nama "incretin mimetic" dimaksudkan untuk menekankan efek glukoregulator dan metabolik dari agen-agen ini.
Beberapa mimetin inkretin analog GLP-1 yang telah dikembangkan, resisten terhadap degradasi akibat DPP-IV. Liraglutide dan CJC-1131 telah menjalani pengujian paling ekstensif sampai saat ini. Liraglutide berada dalam penelitian fase 2. Meski begitu, perkembangan klinis lebih lanjut membuat CJC-1131 harus ditunda peluncurannnya di pasaran. Exenatide, yang bukan merupakan analog GLP-1 analogue, adalah mimetic inkrtetin pertama yang disetujui penggunaannya oleh FDA.
Liraglutide
Liraglutide adalah suatu analog GLP-1. Dalam penelitian klinis awal, liraglutide menunjukkan aktivitas glukoregulator multiple serupa dengan daya kerja GLP-1 endogen. Liraglutide menekan peningkatan glukosa postprandial, menurunkan konsentrasi glukosa plasma puasa, meningkatkan respon insulin fase pertama setelah makan dan menekan konsentrasi glukagon plasma setelah makan. pada satu penelitian fase 2. Pengobatan menggunakan liraglutide menyebabkan penurunan HbA1c (-0,8%), dibandingkan dengan plasebo. Mual dan efek samping gastrointestinal lain, merupakan efek samping yang paling banyak ditemukan.
Pada pertemuan ADA (American Diabetes Association) Juni 2009, dipresentasikan hasil-hasil LEAD 3, suatu penelitian monoterapi liraglutide. Hasilnya menunjukkan penurunan nilai hemoglobin A1C yang lebih besar, dengan hampir 60% pasien mencapai target gula darah, dibandingkan sepertiga pasien yang menggunakan suatu glimepiride. LEAD 3 adalah penelitian 2 tahun, melibatkan 323 pasien diabetes mellitus tipe 2 yang secara acak diberi liraglutide 1,8 mg atau 1,2 mg/ hari, atau diberi glimepiride.
Pada tahun kedua, pasien yang mendapat liraglutide 1,8 mg mengalami penurunan 1,1% hemoglobin A1C dari baseline dibandingkan 0,9% dengan 1,2 mg dan 0.6% dengan glimepiride, lebih banyak pasien yang mencapai target A1C kurang dari 7% (58% pasien mendapatkan dosis 1,8 mg, 44% pasien mendapatkan 1,2 mg, dan 37% mendapatkan glimepiride) di tahun kedua.
Namun, ada kekhawatiran peningkatan risiko kanker pada pasien yang menggunakan liraglutide, sebagaimana yang terlihat pada penelitian menggunakan hewan pengerat. Dr. Garber, salah seorang peneliti, mengatakan, liraglutide menstimulasi sel C pada hewan pengerat, menyebabkan peningkatan kalsitonin dan ada beberapa kasus kanker pada hewan ini. Tetapi, sampai saat ini belum ditemukan pada primata non manusia atau pada manusia. "Manusia sedikit sekali memiliki reseptor sel C, di mana liraglutide bekerja,” ujarnya.
Exenatide
Exendin-4, bentuk alamiah exenatide, awalnya diisolasi dari sekresi air liur kadal Heloderma suspectum (Gila monster). Pada monster, exendin-4 bersirkulasi setelah kadal tersebut menggigit mangsanya (mencerna makanan) dan karenanya merupakan contoh pertama hormon endokrin yang disekresikan dari kelenjar air liur. Exendin-4 resisten terhadap degradasi oleh DPP IV mamalia, karenanya memiliki paruh hidup plasma yang lebih lama dari GLP-1.
Exenatide memiliki aktivitas glukoregulatori yang sama, termasuk meningkatkan sekresi insulin, menekan sekresi glukagon, memperlambat pengosongan lambung dan menurunkan ambilan makanan. Selain itu, exenatide terbukti dapat mengembalikan sekresi insulin fase pertama dan memicu proliferasi sel beta dan neogenesis sel beta dari sel precursor pada model diabetes invitro mau pun in vivo.
Hasil-hasil penelitian klinis fase 3 exenatide pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang diobati dengan metformin, sulfonylurea, atau keduanya, telah dilaporkan. Tiga puluh minggu pemberian exenatide (5 µg atau 10 µg secara subkutan, 2x sehari), secara signifikan menurunkan HbA1c, glukosa plasma puasa, peningkatan glukosa setelah makan. Konsentrasi HbA1c setelah makan dari baseline pada kelompok 10 µg exenatide berkisar -0,9% sampai -0,8%, dibandingkan dengan +0,1% sampai +0,2% pada kelompok plasebo. Selain itu, didapatkan penurunan progresif berat, dengan rerata berkisar -2,8 kg sampai -1,6 kg pada kelompok 10 µg pada minggu 30, dibandingkan dengan -0,9 kg sampai -0,3 kg pada kelompok plasebo (P < .05). Pada suatu penilaian penelitian-penelitian ini, pasien yang menggunakan exenatide 10-µg selama 82 minggu menunjukkan penurunan HbA1c menetap dari baseline sebesar -1,1 ± 0,1%, dengan 48% pasien mencapai HbA1c ≤ 7%, menunjukkan durabilitas kontrol glikemik. Kohort pasien yang sama ini mengalami penurunan berat badan progresif, dari baseline sebesar -4,4 ± 0,3 kg. Exenatide secara umum bisa ditroleransi dengan baik. Mual ringan sampai moderat adal;ah efek samping paling banyak, ditemukan dari penggunaan exenatide dan insiden mual menurun dengan dilanjutkannya pengobatan. Penelitian klinis berikutnya, didisain untuk menilai apakah exenatide dapat digunakan sebagai alternative terhadap insulin glargine. Pada penelitian acak, label terbuka selama 26 minggu, non inferioritas exenatide terhadap insulin glargine terlihat pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang secara umum berusia paruh baya, kelebihan berat badan (indeks masa tubuh rerata sebesar 31 kg/m2), dan memiliki kontrol glikemia yang sub optimal dengan durasi pengakit tingkat lanjut. Pada minggu 26, HbA1c mengalami penurunan dari baseline debngan tingkat yang sama pada kedua kelompok pengobatan (rata-rata -1.1%). Sedangkan, berat badan menurun pada pasien yang diobati dengan exenatide (rata-rata -2,3 kg), tetapi meningkat pada pasien yang diobati dengan insulin (rerata± 1,8 kg). Kejadian berbahaya yang paling banyak ditemukan pada pasien yang diobati dengan exenatide, adalah mual rangan sampai berat yang menurunkan angka insiden. Kejadian hipoglikemia secara keseluruhan tidak berbeda pada kedua kelompok pengobatan. Bagaimana pun, pasien exenatide mengalami angka insiden yang lebih hipoglikemia malam hari lebih rendah dan insiden hipoglikemia siang hari yang lebih tinggi, dibanding insulin glargine. Penelitian-penelitian farmakologis mengindikasikan, pemberian exenatide tidak dianjurkan selama periode post prandial dan pemberian exenatide tidak sesuai untuk pasien dengan gangguan ginjal berat (klirens kreatinin <30> 8%) menunjukkan penurunan HbA1C yang lebih signifikan, yaitu 1,2%. Ketika vildagliptin (50 mg o.d.) dibandingkan rosiglitazone (8 mg o.d.) pada pasien yang belum mendapatkan pengobatan apa pun (baseline HbA1C sebesar 8,7%), perbaikan kontrol glikemia dicapai dengan hasil yang sama. Tetapi profil lipid membaik pada pasien yang menggunakan vildagliptin. Tidak ditemukan adanya penambahan berat badan, dibanding kelompok yang menggunakan rosiglitazone.
Sitagliptin (100 mg atau 200 mg o.d.) sebagai monoterapi dibandingkan plasebo yang diberikan pada pasien dengan diabetes yang tidak terkendali dengan baik (baseline HbA1C sebesar 8,1%) selama 18 minggu, menunjukkan penurunan sebesar 0,60% dibandingkan plasebo yang sebesar 0,48%. Pertemuan tahunan European Association for the Study of Diabetes (EASD) menunjukkan data dari penelitian monoterapi, di mana sitagliptin dievaluasi pada lebih dari 700 pasien dengan diabetes tipe 2. Pasien diabetes tipe 2 (baseline HbA1C sebesar 8,0%) secara acak diberi plasebo, sitagliptin 100 mg o.d. atau sitagliptin 200 mg o.d.. Setelah 24 minggu, kedua kelompok yang diberi sitagliptin menunjukkan penurunan HbA1C sebesar 0,79% dan 0,94%. Pasien dengan baseline HbA1C tertinggi (> 9%), menunjukkan perbaikan yang snagat besar, dengan rata-rata penurunan HbA1C sebesar 1,5%. Rata-rata FPG dan PPG menurun sampai 1,2 mmol/L dan 3,0 mmol/L pada kelompok sitagliptin, dibandingkan dengan plasebo.
Terapi Kombinasi
Dalam satu penelitian satu tahun menggunakan vildagliptin (50 mg o.d.) ditambahkan pada pengobatan metformin yang sedang berjalan pada pasien diabetes tipe 2 (baseline HbA1C 7,9%). Ada penurunan HbA1C sebesar 0,7% dalam 12 minggu pertama pengobatan dan efek menetap pada kendali glikemia (penurunan HbA1C sebesar 1,1% dibandingkan dengan plasebo) selama satu tahun pertama penelitian. Penelitian lain menunjukkan, vildagliptin bahkan sebagai terapi tambahan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (baseline HbA1C sebesar 8.5%) yang tidak terkontrol dengan baik menggunakan insulin (> 30 U/hari), mampu menurunkan secara signifikan HbA1C sampai 0,7%. Secara siginifikan lebih sedikit kasus kejadian hipoglikemia pada kelompok yang menggunakan penghambat DPP IV.
Evaluasi pengobatan dengan sitagliptin sebagai terapi tambahan terapi metformin yang tengah berjalan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (baseline HbA1C sebesar 8,0%), menunjukkan penurunan HbA1C dari baseline sebesar 0,65% setelah pengobatan 24 minggu dengan sitagliptin 100 mg o.d. Yang menarik, pada EASD, dipresentasikan data dari penelitian lain menggunakan sitagliptin atau glipizide sebagai terapi tambahan, pada terapi metformin yang sedang berjalan (baseline HbA1C sebesar 7,5%). Penelitian ini menunjukkan, kontrol glikemia yang sama dicapai pada kedua kelompok.
Yang perlu diperhatikan, insiden hipoglikemia lebih tinggi pada kelompok glipizide dibandingkan kelompok sitagliptin (32% vs. 5%). Lebih jauh, perbedaan dalam berat badan sebesar 2,5 kg lebih baik pada kelompok yang menggunakan penghambat DPP IV. Penambahan sitagliptin terhadap pasien yang tidak terkontrol secara adekwat menggunakan pioglitazone (baseline HbA1C sebesar 8,0%), secara signiufikan memperbaiki HbA1C (0,7%) dan FPG (1 mmol/L) selama 24 minggu.
Efek pada Fungsi Sel Beta
Kemunduran fungsi sel beta sebesar 4% per tahun, terlihat pada pasien dengan diabetes tipe 2. Menahan atau bahkan membalikkan kemunduran sel beta pancreas, yang menyertai progresi penyakit adalah tujuan urtama intervensi terapeutik pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Data preklinis menunjukkan kemungkinan, mimetik inkretin dan penghambat DPP-IV mungkin memiliki manfaat dalam hal ini. Bagaimana pun, dibutuhkan data preklinis lebih jauh untuk menjawab masalah ini.
Respon insulin terhadap makanan, dievaluasi setelah pemberian vildagliptin vs. plasebo selama 12 minggu pada pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan. Hasilnya, respon insulin terhadap pencernaan makanan serupa pada kedua kelompok. Bagaimana pun, pada kelompok vildagliptin, FPG dan PPG lebih rendah dibandingkan plasebo. Ini mengindikasikan suatu perbaikan sensitifitas glukosa dari sel beta. Ini juga terlihat pada penelitian-penelitian vildagliiptin lainnya. Hal ini mengindikasikan, obat tersebut menstimulasi sekresi insulin, yang disertai peningkatan sensitifitas sel beta terhadap glukosa. Efek utama yang didapatkan dalam 12 minggu pengobatan dan bertahan selama 52 minggu pengobatan.
Efek sitagliptin pada fungsi sel beta dalam penelitian klinis, telah dievaluasi menggunakan HOMA, rasio proinsulin:insulin, karakterisasi dinamik respon insulin setelah makan dan analisa berbasis model. Penelitian-penelitian ini menunjukkan memberikan perbaikan pada fungsi sel beta ketika dibandingkan plasebo ketika menggunakan model ini. Walau didapatkan peningkatan sensitifitas sel beta terhadap glukosa, kecilnya angka kejadian hipoglikemia diamati pada penelitian klinis dengan sitagliptin mengindikasikan bahwa peningkatan fungsi sel beta tetap bergantung pada jumlah glukosa yang masuk.
Efek pada Berat Badan
Vildagliptin dan sitagliptin (dalam penelitian-penelitian yang berlangsung 52 minggu) tidak berpengaruh pada bereat badan. Ini berbeda dengan pengobatan menggunakan analog GLP-1 atau GLP-1 native, yang terlihat menyebabkan penurunan berat badan. Perbedaan pada kedua pendekatan, mungkin disebabkan bahwa konsentrasi supra fisiologis dapat dicapai dengan analog GLP-1. Sementara penghambatan DPP IV mendukung peran fisiologis GLP-1, tanpa perlu mencapai konsentrasi GLP-1 yang dibutuhkan untuk menginduksi penurunan berat badan. Di sisi lain, selama pengobatan menggunakan penghambat DPP IV tidak ditemukan adanya penambahan berat badan. Berbeda dengan yang boasa kita temukan pada pengobatan menggunakan sulphonylureas, insulin atau thiazolidinediones.
Keamanan dan Tolerabilitas
Pengalaman klinis dan prekllinis menggunakan penghambat DPP IV, walau masih terbatas, menunjukkan bahwa obat-obatan ini memiliki tolerabilitas yang baik dan efek samping yang sangat sedikit. Perbaikan kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes, biasanya dihubungkan dengan meningkatnya risiko berkembangnya hypoglycaemia. Karena hormon inkretin memiliki ketergantungan pada glukosa. Hipoglikemia sangat jarang terjadi selama terapi berbasis inkretin.
Terapi dengan analog GLP-1 atau penghambat DPP IV masih baru untuk diabetes mellitus tipe 2. Berbagai penelitian menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Diabetes melitu tipe 2 adalah penyakit yang ditandai resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Lebih lanjut, kondisi ini juga ditandai tingginya kadar glukagon dalam plasma yang sulit turun atau bahkan meningkat, setelah glukosa atau karbohidrat masuk ke dalam tubuh secara oral. Sebab itu, diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit kompleks. Pengobatan yang optimal perlu dilakukan secara menyeluruh.
Banyak pasien yang tidak mendapatkan pengobatan secara adekwat. Sebab, pengobatan yang ada saat ini memiliki sejumlah keterbatasan, termasuk masalah keamanan dan tolerabilitas. Misalnya masalah hipoglikemia, penambahan berat badan dan efek samping pada saluran cerna.
“Walau pengobatan diabetes diberikan secara intensif dengan mengombinasikan beberapa obat antidiabetes, kontrol gula darah memburuk bersamaan dengan berjalannya waktu. Ini menunjukkan adanya kemunduran fungsi sel beta,” ujar Prof. dr. Ketut Suastika Sp.PD-KEMD dari Universitas Udayana, Bali, pada suatu symposium di Jakarta.
Karena itu, dilakukan pencaria terus menerus terapi terapeutik baru untuk mengatasi keterbatasan pengobatan yang ada saat ini. Suatu strategi pengobatan yang baru, seharusnya tidak hanya mengobati hiperglikemia yang merupakan masalah utama pada penyakit ini, tapi juga mencegah progresi dan komplikasi yang diakibatkan penyakitnya.
Selama 40 tahun, diabetologis tertarik pada hubungan usus dengan sekresi insulin. Penelitian-penelitian terkini menunjukkan, hormon-hormon yang dikeluarkan usus, GLP-1 dan GIP, adalah dua kunci utama dalam hemostasis glukosa pada subyek sehat. Hormon-hormon ini adalah peptida gastrointestinal, disekresikan dari sel-sel L dan K usus kecil setelah makanan masuk ke dalam usus.
Hormon-hormon itu bekerja meningkatkan sekresi insulin setelah makan, sesuai dengan jumlah glukosa yang masuk ke dalam usus. Dari berbagai penelitian terlihat, efek GLP-1 masih tetap ada pada pasien diabetes mellitus tipe 2, sementara efek GIP mengalami gangguan. Pemberian GLP-1 intravena secara terus menerus, mampu menormalkan kadar glukosa dalam darah pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Tetapi, GLP-1 intravena dapat dengan cepat berdegradasi dan tidak bisa digunakan secara rutin.
Pada 2002, Zander et al. menunjukkan dalam penelitiannya bahwa enam minggu pemberian GLP-1 secara subkutan (menggunakan pompa insulin), secara signifikan menurunkan HbA1C, berat badan dan memperbaiki respon inbulin fase pertama. Karena GLP-1 secara cepat dinonaktifkan oleh enzim DPP IV, ada dua prinsip utama terapi GLP-1: 1) berikan analog GLP-1 aksi panjang yang resisten terhadap DPP IV, dan 2) berikan penghambat DPP IV, yang menunjukkan dapat melindungi hormon endogen dan meningkatkan aktivitas hormon tersebut.
Degradasi GLP-1
DPP IV adalah suatu serine protease, yang didistribusikan secara luas dalam tubuh. Enzim ini memecah dua asam amino dari peptida kecil mengandung alanine atau proline di posisi kedua peptida N-terminus. Enzim ini, disebut juga T-cell antigen CD26, ditemukan di berbagai lokasi termasuk usus dan membran brush-border ginjal, di hepatosit dan sel-sel endotel pembuluh kapiler dan dalam bentuk larut dalam plasma.
Walau secara spesifik enzim ini memiliki peran dalam metabolism berbagai peptida endogen, terlihat DPP IV memiliki peran penting dalam menonaktifkan GLP-1. Deacon et al. menunjukkan bahwa pemotongan N-terminal GLP-1 endogen dan eksogen mungkin memiliki peran fisiologis dalam mendegredasi GLP-1 native dengan cepat.
Peptida tersebut tampak memiliki paruh hidup dalam plasma selama 1-2 menit, dengan kecepatan klirens metabolik sebesar 5–10 L/menit, melebihi output kardiak dengan faktor sebesar 2 sampai 3. Pada pasien diabetes mellitus tipe 2, berbagai penelitian menunjukkan hubungan antara kontrol glikemia dan aktivitas DPP IV dalam plasma. Tetapi, tidak ada hubungannya dengan jumlah hormon aktif secara biologis dalam plasma.
Pada tahun 2000, Marguet et al. menunjukkan, tikus dengan gen CD26 yang diatur memiliki GLP-1 endogen yang tinggi. Ini mendukung pentingnya DPP IV dalam metabolisme GLP-1. Penelitian lain oleh Deacon dan kawan-kawan menunjukkan, penghambatan DPP IV dapat menghambat sepenuhnya degradasi terminal N pada GLP-1 native in vivo. Ini juga dihubungkan dengan meningkatnya efek insulinotropik.
Mimetik inkretin
Mimetik inkretin adalah kelas baru agen farmakologis dengan daya kerja antihiperglikemik multiple, menyerupai beberapa efek hormon inkretin endogen. Salah satunya adalah meningkatkan sekresi insulin. Walau agen-agen ini memiliki efek mengatur kadar glukosa yang sama dengan GLP-1, mekanisme kerjanya mungkin tidak hanya dimediasi melalui reseptor GLP-1 pankreas. Sebab itu, nama "incretin mimetic" dimaksudkan untuk menekankan efek glukoregulator dan metabolik dari agen-agen ini.
Beberapa mimetin inkretin analog GLP-1 yang telah dikembangkan, resisten terhadap degradasi akibat DPP-IV. Liraglutide dan CJC-1131 telah menjalani pengujian paling ekstensif sampai saat ini. Liraglutide berada dalam penelitian fase 2. Meski begitu, perkembangan klinis lebih lanjut membuat CJC-1131 harus ditunda peluncurannnya di pasaran. Exenatide, yang bukan merupakan analog GLP-1 analogue, adalah mimetic inkrtetin pertama yang disetujui penggunaannya oleh FDA.
Liraglutide
Liraglutide adalah suatu analog GLP-1. Dalam penelitian klinis awal, liraglutide menunjukkan aktivitas glukoregulator multiple serupa dengan daya kerja GLP-1 endogen. Liraglutide menekan peningkatan glukosa postprandial, menurunkan konsentrasi glukosa plasma puasa, meningkatkan respon insulin fase pertama setelah makan dan menekan konsentrasi glukagon plasma setelah makan. pada satu penelitian fase 2. Pengobatan menggunakan liraglutide menyebabkan penurunan HbA1c (-0,8%), dibandingkan dengan plasebo. Mual dan efek samping gastrointestinal lain, merupakan efek samping yang paling banyak ditemukan.
Pada pertemuan ADA (American Diabetes Association) Juni 2009, dipresentasikan hasil-hasil LEAD 3, suatu penelitian monoterapi liraglutide. Hasilnya menunjukkan penurunan nilai hemoglobin A1C yang lebih besar, dengan hampir 60% pasien mencapai target gula darah, dibandingkan sepertiga pasien yang menggunakan suatu glimepiride. LEAD 3 adalah penelitian 2 tahun, melibatkan 323 pasien diabetes mellitus tipe 2 yang secara acak diberi liraglutide 1,8 mg atau 1,2 mg/ hari, atau diberi glimepiride.
Pada tahun kedua, pasien yang mendapat liraglutide 1,8 mg mengalami penurunan 1,1% hemoglobin A1C dari baseline dibandingkan 0,9% dengan 1,2 mg dan 0.6% dengan glimepiride, lebih banyak pasien yang mencapai target A1C kurang dari 7% (58% pasien mendapatkan dosis 1,8 mg, 44% pasien mendapatkan 1,2 mg, dan 37% mendapatkan glimepiride) di tahun kedua.
Namun, ada kekhawatiran peningkatan risiko kanker pada pasien yang menggunakan liraglutide, sebagaimana yang terlihat pada penelitian menggunakan hewan pengerat. Dr. Garber, salah seorang peneliti, mengatakan, liraglutide menstimulasi sel C pada hewan pengerat, menyebabkan peningkatan kalsitonin dan ada beberapa kasus kanker pada hewan ini. Tetapi, sampai saat ini belum ditemukan pada primata non manusia atau pada manusia. "Manusia sedikit sekali memiliki reseptor sel C, di mana liraglutide bekerja,” ujarnya.
Exenatide
Exendin-4, bentuk alamiah exenatide, awalnya diisolasi dari sekresi air liur kadal Heloderma suspectum (Gila monster). Pada monster, exendin-4 bersirkulasi setelah kadal tersebut menggigit mangsanya (mencerna makanan) dan karenanya merupakan contoh pertama hormon endokrin yang disekresikan dari kelenjar air liur. Exendin-4 resisten terhadap degradasi oleh DPP IV mamalia, karenanya memiliki paruh hidup plasma yang lebih lama dari GLP-1.
Exenatide memiliki aktivitas glukoregulatori yang sama, termasuk meningkatkan sekresi insulin, menekan sekresi glukagon, memperlambat pengosongan lambung dan menurunkan ambilan makanan. Selain itu, exenatide terbukti dapat mengembalikan sekresi insulin fase pertama dan memicu proliferasi sel beta dan neogenesis sel beta dari sel precursor pada model diabetes invitro mau pun in vivo.
Hasil-hasil penelitian klinis fase 3 exenatide pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang diobati dengan metformin, sulfonylurea, atau keduanya, telah dilaporkan. Tiga puluh minggu pemberian exenatide (5 µg atau 10 µg secara subkutan, 2x sehari), secara signifikan menurunkan HbA1c, glukosa plasma puasa, peningkatan glukosa setelah makan. Konsentrasi HbA1c setelah makan dari baseline pada kelompok 10 µg exenatide berkisar -0,9% sampai -0,8%, dibandingkan dengan +0,1% sampai +0,2% pada kelompok plasebo. Selain itu, didapatkan penurunan progresif berat, dengan rerata berkisar -2,8 kg sampai -1,6 kg pada kelompok 10 µg pada minggu 30, dibandingkan dengan -0,9 kg sampai -0,3 kg pada kelompok plasebo (P < .05). Pada suatu penilaian penelitian-penelitian ini, pasien yang menggunakan exenatide 10-µg selama 82 minggu menunjukkan penurunan HbA1c menetap dari baseline sebesar -1,1 ± 0,1%, dengan 48% pasien mencapai HbA1c ≤ 7%, menunjukkan durabilitas kontrol glikemik. Kohort pasien yang sama ini mengalami penurunan berat badan progresif, dari baseline sebesar -4,4 ± 0,3 kg. Exenatide secara umum bisa ditroleransi dengan baik. Mual ringan sampai moderat adal;ah efek samping paling banyak, ditemukan dari penggunaan exenatide dan insiden mual menurun dengan dilanjutkannya pengobatan. Penelitian klinis berikutnya, didisain untuk menilai apakah exenatide dapat digunakan sebagai alternative terhadap insulin glargine. Pada penelitian acak, label terbuka selama 26 minggu, non inferioritas exenatide terhadap insulin glargine terlihat pada pasien diabetes mellitus tipe 2 yang secara umum berusia paruh baya, kelebihan berat badan (indeks masa tubuh rerata sebesar 31 kg/m2), dan memiliki kontrol glikemia yang sub optimal dengan durasi pengakit tingkat lanjut. Pada minggu 26, HbA1c mengalami penurunan dari baseline debngan tingkat yang sama pada kedua kelompok pengobatan (rata-rata -1.1%). Sedangkan, berat badan menurun pada pasien yang diobati dengan exenatide (rata-rata -2,3 kg), tetapi meningkat pada pasien yang diobati dengan insulin (rerata± 1,8 kg). Kejadian berbahaya yang paling banyak ditemukan pada pasien yang diobati dengan exenatide, adalah mual rangan sampai berat yang menurunkan angka insiden. Kejadian hipoglikemia secara keseluruhan tidak berbeda pada kedua kelompok pengobatan. Bagaimana pun, pasien exenatide mengalami angka insiden yang lebih hipoglikemia malam hari lebih rendah dan insiden hipoglikemia siang hari yang lebih tinggi, dibanding insulin glargine. Penelitian-penelitian farmakologis mengindikasikan, pemberian exenatide tidak dianjurkan selama periode post prandial dan pemberian exenatide tidak sesuai untuk pasien dengan gangguan ginjal berat (klirens kreatinin <30> 8%) menunjukkan penurunan HbA1C yang lebih signifikan, yaitu 1,2%. Ketika vildagliptin (50 mg o.d.) dibandingkan rosiglitazone (8 mg o.d.) pada pasien yang belum mendapatkan pengobatan apa pun (baseline HbA1C sebesar 8,7%), perbaikan kontrol glikemia dicapai dengan hasil yang sama. Tetapi profil lipid membaik pada pasien yang menggunakan vildagliptin. Tidak ditemukan adanya penambahan berat badan, dibanding kelompok yang menggunakan rosiglitazone.
Sitagliptin (100 mg atau 200 mg o.d.) sebagai monoterapi dibandingkan plasebo yang diberikan pada pasien dengan diabetes yang tidak terkendali dengan baik (baseline HbA1C sebesar 8,1%) selama 18 minggu, menunjukkan penurunan sebesar 0,60% dibandingkan plasebo yang sebesar 0,48%. Pertemuan tahunan European Association for the Study of Diabetes (EASD) menunjukkan data dari penelitian monoterapi, di mana sitagliptin dievaluasi pada lebih dari 700 pasien dengan diabetes tipe 2. Pasien diabetes tipe 2 (baseline HbA1C sebesar 8,0%) secara acak diberi plasebo, sitagliptin 100 mg o.d. atau sitagliptin 200 mg o.d.. Setelah 24 minggu, kedua kelompok yang diberi sitagliptin menunjukkan penurunan HbA1C sebesar 0,79% dan 0,94%. Pasien dengan baseline HbA1C tertinggi (> 9%), menunjukkan perbaikan yang snagat besar, dengan rata-rata penurunan HbA1C sebesar 1,5%. Rata-rata FPG dan PPG menurun sampai 1,2 mmol/L dan 3,0 mmol/L pada kelompok sitagliptin, dibandingkan dengan plasebo.
Terapi Kombinasi
Dalam satu penelitian satu tahun menggunakan vildagliptin (50 mg o.d.) ditambahkan pada pengobatan metformin yang sedang berjalan pada pasien diabetes tipe 2 (baseline HbA1C 7,9%). Ada penurunan HbA1C sebesar 0,7% dalam 12 minggu pertama pengobatan dan efek menetap pada kendali glikemia (penurunan HbA1C sebesar 1,1% dibandingkan dengan plasebo) selama satu tahun pertama penelitian. Penelitian lain menunjukkan, vildagliptin bahkan sebagai terapi tambahan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (baseline HbA1C sebesar 8.5%) yang tidak terkontrol dengan baik menggunakan insulin (> 30 U/hari), mampu menurunkan secara signifikan HbA1C sampai 0,7%. Secara siginifikan lebih sedikit kasus kejadian hipoglikemia pada kelompok yang menggunakan penghambat DPP IV.
Evaluasi pengobatan dengan sitagliptin sebagai terapi tambahan terapi metformin yang tengah berjalan pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (baseline HbA1C sebesar 8,0%), menunjukkan penurunan HbA1C dari baseline sebesar 0,65% setelah pengobatan 24 minggu dengan sitagliptin 100 mg o.d. Yang menarik, pada EASD, dipresentasikan data dari penelitian lain menggunakan sitagliptin atau glipizide sebagai terapi tambahan, pada terapi metformin yang sedang berjalan (baseline HbA1C sebesar 7,5%). Penelitian ini menunjukkan, kontrol glikemia yang sama dicapai pada kedua kelompok.
Yang perlu diperhatikan, insiden hipoglikemia lebih tinggi pada kelompok glipizide dibandingkan kelompok sitagliptin (32% vs. 5%). Lebih jauh, perbedaan dalam berat badan sebesar 2,5 kg lebih baik pada kelompok yang menggunakan penghambat DPP IV. Penambahan sitagliptin terhadap pasien yang tidak terkontrol secara adekwat menggunakan pioglitazone (baseline HbA1C sebesar 8,0%), secara signiufikan memperbaiki HbA1C (0,7%) dan FPG (1 mmol/L) selama 24 minggu.
Efek pada Fungsi Sel Beta
Kemunduran fungsi sel beta sebesar 4% per tahun, terlihat pada pasien dengan diabetes tipe 2. Menahan atau bahkan membalikkan kemunduran sel beta pancreas, yang menyertai progresi penyakit adalah tujuan urtama intervensi terapeutik pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Data preklinis menunjukkan kemungkinan, mimetik inkretin dan penghambat DPP-IV mungkin memiliki manfaat dalam hal ini. Bagaimana pun, dibutuhkan data preklinis lebih jauh untuk menjawab masalah ini.
Respon insulin terhadap makanan, dievaluasi setelah pemberian vildagliptin vs. plasebo selama 12 minggu pada pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan. Hasilnya, respon insulin terhadap pencernaan makanan serupa pada kedua kelompok. Bagaimana pun, pada kelompok vildagliptin, FPG dan PPG lebih rendah dibandingkan plasebo. Ini mengindikasikan suatu perbaikan sensitifitas glukosa dari sel beta. Ini juga terlihat pada penelitian-penelitian vildagliiptin lainnya. Hal ini mengindikasikan, obat tersebut menstimulasi sekresi insulin, yang disertai peningkatan sensitifitas sel beta terhadap glukosa. Efek utama yang didapatkan dalam 12 minggu pengobatan dan bertahan selama 52 minggu pengobatan.
Efek sitagliptin pada fungsi sel beta dalam penelitian klinis, telah dievaluasi menggunakan HOMA, rasio proinsulin:insulin, karakterisasi dinamik respon insulin setelah makan dan analisa berbasis model. Penelitian-penelitian ini menunjukkan memberikan perbaikan pada fungsi sel beta ketika dibandingkan plasebo ketika menggunakan model ini. Walau didapatkan peningkatan sensitifitas sel beta terhadap glukosa, kecilnya angka kejadian hipoglikemia diamati pada penelitian klinis dengan sitagliptin mengindikasikan bahwa peningkatan fungsi sel beta tetap bergantung pada jumlah glukosa yang masuk.
Efek pada Berat Badan
Vildagliptin dan sitagliptin (dalam penelitian-penelitian yang berlangsung 52 minggu) tidak berpengaruh pada bereat badan. Ini berbeda dengan pengobatan menggunakan analog GLP-1 atau GLP-1 native, yang terlihat menyebabkan penurunan berat badan. Perbedaan pada kedua pendekatan, mungkin disebabkan bahwa konsentrasi supra fisiologis dapat dicapai dengan analog GLP-1. Sementara penghambatan DPP IV mendukung peran fisiologis GLP-1, tanpa perlu mencapai konsentrasi GLP-1 yang dibutuhkan untuk menginduksi penurunan berat badan. Di sisi lain, selama pengobatan menggunakan penghambat DPP IV tidak ditemukan adanya penambahan berat badan. Berbeda dengan yang boasa kita temukan pada pengobatan menggunakan sulphonylureas, insulin atau thiazolidinediones.
Keamanan dan Tolerabilitas
Pengalaman klinis dan prekllinis menggunakan penghambat DPP IV, walau masih terbatas, menunjukkan bahwa obat-obatan ini memiliki tolerabilitas yang baik dan efek samping yang sangat sedikit. Perbaikan kontrol glikemik pada pasien dengan diabetes, biasanya dihubungkan dengan meningkatnya risiko berkembangnya hypoglycaemia. Karena hormon inkretin memiliki ketergantungan pada glukosa. Hipoglikemia sangat jarang terjadi selama terapi berbasis inkretin.
Tidak ada komentar
Posting Komentar