Rumah Sakit Admira

Tidak Terapkan Konsep Kelas, Tarif Rasional

Memiliki alat canggih, mulai dari Multislice CT Scan (MSCT 6 slice) hingga Echo, disadari bahwa teknologi bukan segalanya. Fokus tetap pada pelayanan standard dengan tarif rasional.

Masih hangat dalam ingatan kita, tentang kasus bayi Dera. Ini merupakan pukulan cukup berarti, bagi pelayanan dunia kesehatan di Indonesia. Media yang terus menyiarkan berita meninggaklnya Dera karena tidak bisa mendapat perawatan, secara tidak langsung menggiring masyarakat untuk menyalahkan salah satu pihak; dalam hal ini pemberi layanan kesehatan. Benarkah semua itu kesalahan penyedia layanan, atau kesalahan sistem jaminan kesehatan yang belum optimal? Ini masih menjadi tanda tanya besar, sekaligus merupakan semacam teguran bagi kita, terutama dalam pemberian layanan kesehatan masyarakat yang lebih baik.

Menurut dr. Chairulsjah Sjahruddin SpOG, MARS, Direktur Rumag Sakit Admira, Pulomas, Jakarta, “Tidak mudah memberikan pelayanan kesehatan yang baik bagi pasien.” Dalam lingkup kecil sekali pun, seperti rumah sakit, perlu tim yang solid yang mencakup dokter, perawat hingga tenaga penujang lain yang unggul, yang kesemuanya bertujuan untuk memberikan kepuasan pelayanan. Terlebih dalam pelayanan kesehatan di suatu daerah bahkan negara, seperti dengan akan diberlakukannya Sistem Jaminan Kesehatan Sosial Nasional per 1 Januari 2014. “Ini tidak mudah,” katasnya.  Perli sistim yang baik dan selalu terkontrol.

RS Admira melakukan soft opening 10 Oktober 2011 dan grand opening pada 26 Januari 2012. Menurut dr. Chairulsjah, rumah sakitnya tidak mengandalkan fasilitas atau teknologi canggih, meski telah memiliki Multislice CT Scan (MSCT 6 slice), hingga peralatan cangih sekelas Echo. “Kami hanya menyelenggarakan pelayanan standar yang berkualitas,” ujarnya.

Sebelum rumah sakit ini berdiri, sudah dibangun sebuah konsep tata kelola. Intinya, “Kami tidak ingin mengelola rumah sakit itu business as usual,” tambahnya. “Sudah ada design dan planning konsep, yang tujuannya adalah agar kami bisa memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien dan keluarga.”

Menurutnya, masyarakat saat ini semakin kritis dan menuntut kesembuhan dengan menyertakan tingkat keamanan, kendali biaya, kendali mutu, tepat waktu, respon time serta menjamin kualitas layanan. Dengan demikian, rumah sakit harus memberikan pelayanan yang berkualitas.

Menurut dr. Chairul, pelayanan standard berkualitas yang dimaksud disini adalah, ketika ada pasien datang, ia harus mendapat: 1.)Pelayanan dokter, 2) Pelayanan perawat, 3) Pelayanan farmasi/obat, 4) Pelayanan Gizi, 5) Pelayanan Penunjang. “Point 1 hingga 3, rumah sakit lain juga memberikan. Tapi, untuk point 4 dan 5, banyak rumah sakit yang mengabaikan,” katanya.

Khusus untuk pelayanan penunjang, terbagi menjadi 2, yaitu; penunjang medis dan penunjang non medis. Penunjang medis di antaranya laboratorium, radiologi dan fisioterapi. Sedangkan penunjang non medis seperti, fasilititas dalam ruangan seperti AC, TV, dll. Fasilitas penunjang non medis yang lain, yang juga menjadi standard dalam memberikan layanan adalah, “Ketika pasien datang, mereka akan disambut oleh security, diantar sampai ke admission. Dari admission diantar sampai poli klinik; semua dengan sangat familiar. Itu yang bisa kami jual, dan kelihatanya semua itu sangat menyenangkan bagi pasien,” ujar dr. Chairulsjah.

Sejak RS ini di buka, setidaknya Bed Occupation Rate (BOR) terus mengalami peningkatan. Menurut dr. Chairulsjah, saat ini sudah mencapai 40-60%, dari 55 tempat tidur yang tersedia. Menurutnya, untuk membangun sebuah brain image, bukan rumah sakit yang berbicara, tetapi pasien; dalam hal ini masyarakat yang menentukan semuanya. “Dan tidak bisa tidak, itu harus dibentuk dengan sebuah layanan yang berkualitas,” tambahnya.

Pihak rumah sakit berupaya untuk selalu menanamkan kosep pelayanan prima. Sebagi contoh, dalam memberi perhatian kepada pasien, tidak selalu harus dengan kata-kata yang muluk. Kadang hanya dengan body image atau body language, sudah dapat memberi kesan bahwa pihak RS sudah memberikan perhatian kepada mereka. “Kalau ada keluarga atau pasien bertanya mengenai suatu hal kepada petugas namun petugas sedang menulis, kami ajarkan untuk berhenti menulis, dan memberikan pelayanan dulu,” jelasnya. Menurutnya, kadang hal-hal kecil semacam ini kurang diperhatikan di rumah sakit lain.

Tarif Rasional

Tahun demi tahun, biaya untuk mendapat fasilitas kesehatan meningkat. Hal ini memberatkan orang-orang tidak mampu, atau setengah mampu namun tidak tercover asuransi atau jaminan kesehatan lain. Di lain pihak, rumah sakit dalam pemberian obat atau tindakan terkadang mengalami over used. “Inilah yang kemudian membuat biaya melambung tinggi,” ujarnya.

Belajar dari pengalamannya selama kurang lebih 30 tahun, banyak dokter yang meresepkan antibiotik dengan harga 10 kali lipat dari yang seharusnya. “Alasannya karena resistensi, namun tidak dilakukan test resistensi dulu. Ini lebih ke mudahnya dokter memberikan resep, atau ada hubungan antara dokter dengan pihak farmasi yang sudah menjadi rahasia umum,” ujarnya.

Untuk itu, di RS ini selalu dilakukan pengawasan, dan perkembangan pasien dilaporkan setiap pagi. “Obat yang diresepkan dievaluasi oleh apoteker dan farmakolog, apakah memang diperlukan oleh pasien,” jelasnya. Jika ada pelanggaran atau ada dokter yang setiap kali memberikan obat tertentu dari farmasi tertentu, akan ditegur. Bahkan tidak segan-segan untuk dikeluarkan. Semua itu agar cost yang dikeluarkan oleh pasien tetap rasional. “Biaya kesehatan yang paling mahal disebabkan oleh biaya pembelian obat dan diagnosis,” ujarnya. Jika semua itu bisa diawasi dan ditekan, hasilnya biaya menjadi rasional. Output-nya pasien dan keluarga puas dengan pelayanan yang diberikan rumah sakit.

Kontrol juga dilakukan dengan berbagai cara, seperti melalui acara yang diberi nama “senenan”. Senenan minggu pertama (untuk kontrol medis), minggu kedua (kontrol keperawatan) dan senenan minggu ketiga (kontrol management).

Satu hal yang menarik, dan menurut dr. Chairul tidak dimiliki rumah sakit lain, adalah mengeluarkan rincian pengeluaran harian pasien. “Jadi, pasien atau keluarga setiap hari mendapat rincian biaya yang sudah dikeluarkan, mulai dari biaya obat, profesional medis, keperawatan, visite, dan biaya kamar,” jelasnya. Dengan metode ini, pasien menjadi paham berapa biaya yang telah dikeluarkan. Pasien juga bisa mempertanyakan, obat yang digunakan apa saja, dan apa kegunaannya terhadap pasien. “Kini jamannya keterbukaan. Tidak ada yang perlu kami tutup-tutupi,” katanya.

Diakui, untuk membuat dokter berpikir etis dan profesional, tidak bisa hanya dengan mengatakan, “dokter harus etis, dalam memberikan resep, atau tindakan”. Dibutuhkan sebuah sistim tatakelola dan kontrol rumah sakit yang baik.

Berbeda dengan rumah sakit umumnya yang mengunggulkan bidang tertentu untuk mendapatkan daya tarik pasien, RS Admira tidak. “Kami tidak memiliki unggulan, yang kami berikan hanya pelayanan kesehatan standard yang berkualitas,” tegasnya. Seperti tertuang dalam misi rumah sakit: Memberikan pelayanan yang rasional sesuai kebutuhan pelanggan, dengan tetap memegang nilai dan etika.

Untuk tahun pertama, klinik kebidanan dan kandungan paling banyak mendapatkan kunjungan, disusul kasus di bidang penyakit dalam, anak, dan bedah. Fasilitas pelayanan lain di antaranya: hemodialisis, hipnoterapi, klinik orthopedi, saraf, klinik jantung, mata, paru, psikiatri, dan telingga hidung dan tenggorokan (THT). 

Meski dikelilingi beberapa rumah sakit besar, dr. Chairul optimis bisa mendapat tempat di mata pasien. Ia yakin bisa memberikan pelayanan kesehatan terbaik, namun tetap rasional. Satu hal lain,  RS ini tidak menerapkan konsep kelas. Hanya menerapkan konsep 1 bed dan 2 bed. “Kami tidak pernah membedakan pelayanan yang diberikan. Hanya beda jumlah tempat tidur dalam ruangan,” ujarnya. Tak heran jika banyak pasien KJS (Kartu Jakarta Sehat), datang ke RS ini.

“Kami memiliki komitmen dengan Pemda DKI Jakarta, dan sudah berjalan baik,” katanjya lagi. Ia juga memastikan bahwa rumah sakitnya tidak pernah meminta pasien mengeluarkan uang muka. Terlebih-lebih untuk kasus emergency. “Untuk kasus emergency, yang penting pasien kami tolong dulua, tidak pandang siapa mereka. Itu sudah merupakan komitmen kami,” ujarnya.

Sejarah

Berdiri di atas areak seluas 1.000 m2 dengan luas bangunan 500 m2 dan memiliki lima lantai, RS Admira yang beralamat di Jalan Kayu Putih Raya, Jakarta Timur, tampak menonjol. Terutama karena catnya yang kontras. Warna kuning dan hijau muda menjadikanya terlihat cerah.

RS Admira berdiri karena obsesi dari beberapa sejawat yang dulu sama-sama mengelola RSUD Cengkareng, sebelum menyandang status BLU (Badan Layanan Umum). Karena dr. Chairul dan rekan merupakan orang swasta, mereka keluar dari RSUD Cengkareng. Tidak berapa lama, ia dan rekan mempunyai ide untuk mengembangkan konsep yang sebelumnya dikembangkan di Cengkareng.

Lewat kolaborasi PT Ayuba Utama yang bergerak di bidang usaha rumah sakit dan PT Pulomas Jaya, berdirilah RS Admira. Admira berasal dari kata: Ayuba Utama dan Pulomas Jaya. (ant)

Tidak ada komentar